Kolom
Sabtu, 27 April 2024 - 09:55 WIB

Revisi UU Pemilu

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana aksi Selamatkan Demokrasi Indonesia yang digelar Sejumlah mahasiswa, tenaga kependidikan, dosen hingga alumni Universitas Islam Indonesia (UII) di halaman Auditorium Prof. KH. Abdul Kahar Muzakkir pada Kamis (14/3/2/2024). (Harian Jogja/Catur Dwi Janati)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden-wakil presiden 2024 salah satunya merekomendasikan, bahkan memerintahkan, revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Putusan MK ini menunjukkan penolakan pemerintah tentang usulan dan tuntutan banyak pihak ihwal revisi UU ini pada 2021 lalu patut dipertanyakan. Desakan revisi dan berbagai kekhawatiran yang muncul akan praktik-praktik kecurangan dalam Pemilu 2024 pada saat itu disanggah pemerintah dengan alasan tidak akan terjadi karena UU Pemilu telah mengakomodasi sistem pemilu secara jujur dan adil.

Advertisement

Munculnya PHPU, mulai dari tudingan kecurangan, berbagai kesalahan ketika kampanye, pencalonan, pencoblosan, hingga dana bantuan sosial, pada Pemilu 2024 pada akhirnya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini.

Revisi UU Pemilu memang benar-benar dibutuhkan untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil sebagai bagian membangun demokrasi berkualitas, demokrasi substansial. Revisi UU ini adalah bagian dari konsolidasi demokrasi yang merujuk pada proses pencapaian legitimasi kuat agar semua elemen bangsa percaya pemerintahan demokratis adalah pemerintahan paling tepat.

Pemilu pada saat ini cenderung hanya bersifat prosedural, sementara yang dituntut adalah demokrasi substansial yang meniscayakan pemilu yang jujur dan adil. Penguatan kapasitas lembaga-lembaga demokrasi dan kepastian hukum adalah penyangganya sehingga masalah yang muncul saat Pemilu 2024 tidak boleh terulang lagi.

Advertisement

Dalam pertimbangan hukum di putusan MK, hakim konstitusi memberikan sejumlah catatan perbaikan, salah satunya perihal peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lembaga itu perlu diperkuat agar pelanggaran pemilu bisa diselesaikan dengan baik dan MK tidak selalu menjadi tumpuan penyelesaian masalah.

Peran Bawaslu seharusnya ditegakkan karena selama ini berbagai persoalan hukum saat pemilu, mulai dari tingkat terendah sampai nasional, tidak pernah ada ujungnya. Mandek di tengah-tengah sehingga kepercayaan masyarakat kepada lembaga ini berangsur-angsur hilang.

Aturan sebelum dan pada masa kampanye juga perlu dipertegas, demikian juga berbagai potensi kebijakan yang dikeluarkan lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk lembaga kepresidenan supaya ribut-ribut soal pembagian bantuan sosial yang berbau kampanye tidak terjadi lagi.

Advertisement

Revisi UU Pemilu harus memastikan tidak ada intervensi pemerintah yang membuat pemilu menjadi tidak adil bagi beberapa pihak. Revisi UU Pemilu sebaiknya dilaksanakan pada masa awal pemerintahan eksekutif dan legislatif 2024-2029.

Ini agar proses berjalan lebih mendasar dan komprehensif dengan alokasi waktu cukup. Revisi UU Pemilu tentu tak sebatas menjalankan perintah MK, tetapi juga menindaklanjuti putusan-putusan uji materi UU Pemilu dan evaluasi pelaksanaan Pemilu 2024.

Revisi UU Pemilu harus melibatkan komponen masyarakat sipil dalam partisipasi seluas-luasanya. Ini demi mendapatkan UU Pemilu baru yang benar-benar berorientasi pada peningkatan kualitas demokrasi, bukan hanya demi mempertahankan atau melanjutkan kekuasaan.

Kerangka hukum pemilu yang baru, hasil revisi UU Pemilu, harus bisa disahkan pada 2025 atau paling lambat 2026. Dengan demikian kerangka hukum pemilu yang baru bisa diterapkan dalam Pemilu dan Pilkada 2029.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif