SOLOPOS.COM - Kantor Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo. (Google maps)

Solopos.com, SOLO — Berbagai legitimasi asal-usul penamaan sebuah wilayah muncul seiring perkembangan zaman. Pada masa Orde Baru, Kelurahan Sangkrah, di Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo dilegitimasi sebagai sangare wong krah atau dalam bahasa Indonesia berarti orang yang menyeramkan saat berkelahi.

Ketua Forum Budaya Mataram, Kusumo Putro, kepada Solopos.com, Sabtu (4/9/2021), mengatakan Sangkrah dahulunya bernama Angkrah atau Blengkrah. Nama ini identik dengan sampah angkrah-angkrah.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Menurut Kusumo, Sangkrah jauh lebih dulu ada sebelum Indonesia. Sangkrah melewati berbagai peradaban seperti masa kerajaan hingga menjadi NKRI seperti saat ini.

Baca Juga: Konvoi Knalpot Brong Masuk Solo Dini Hari, 30 Sepeda Motor Disita Polisi

Sangkrah, dalam peradaban lama, memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan Solo. Beberapa sungai turut melewati Sangkrah seperti sungai Tegalkonas dan Jenes yang turut digunakan sebagai pusat kehidupan serta perekonomian warga.

Legitimasi Sangkrah sebagai sangare wong krah mencuat kencang pada masa Orde Baru. Sangkrah yang dulunya pusat ekonomi seperti jalur ekonomi lewat sungai dan stasiun membuat kehidupan warganya keras.

“Sungai di Sangkrah dulu lebar, tidak hanya di Sangkrah. Wilayah dekat dengan pusat transportasi masyatakatnya pasti keras. Namun, berangsur-angsur citra keras di Sangkrah pudar,” papar dia.

Baca Juga: KUA Jebres dan Kemenag Solo Punya Layanan Menemukan Jodoh Lho, Minat?

Menurutnya, dari segi sosial masyarakat, perbedaan karakter masyarakat saat ini tidak terlalu jauh berbeda dengan zaman dahulu. Citra kawasan keras turut menyasar daerah lain di sekitar Sangkrah seperti Gandekan, Semanggi, dan Sudiroprajan. Peran Pemerintah Kota (Pemkot) Solo membuat citra keras itu pudar.

Legitimasi Masyarakat

Sementara itu, Pemerhati Sejarah Kota Solo, Dani Saptoni, menyebut asal-usul penamaan Sangkrah sebagai sangare wong krah hanya legitimasi masyarakat saja. Legitimasi itu muncul karena kehidupan masyarakat di kawasan ekonomi tinggi dan pusat transportasi.

Kawasan seluas 45 hektare itu merupakan peradaban lama dan cikal bakal Kota Solo. Istilah sampah angkrah-angkrah lebih relevan jika dikaitkan dengan penamaan Sangkrah menyusul fakta sejarah jenazah Kyai Bathang yang tersangkut di Kali Pepe pada zaman Ki Gedhe Sala.

Cerita mayat tersangkut berarti menunjukkan sungai saat itu banyak hambatan yang membuat mayat tersangkut.

Baca Juga: PTM di Solo Dimulai, Dishub Siapkan Armada Antar Jemput Siswa

“Ki Gedhe Sala mencoba menghanyutkan mayat itu berulang kali. Namun berapa kali dicoba pun tetap gagal. Akhirnya jenazah dibawa dan dikuburkan ke Desa Sala. Makamnya sekarang di kawasan PGS dan BTC itu,” papar Dani Saptoni.

Setelah dimakamkan, dalam Legenda Desa Sala, Ki Gedhe Sala bermimpi bertemu jenazah itu mengucapkan terima kasih. Lalu, Ki Gedhe Sala juga menerima ramalan jika Desa Sala bakal menjadi kutho sing rejo bahkan menjadi rumah ratu.

“Saya menemukan nama Sangkrah setelah ada Kraton Solo. Beberapa kidungan menyebut punden Desa Sangkrah. Kalau dulu itu Penjalan sampai sekarang masih ada, di sebelah selatan pintu air Sangkrah,”papar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya