Kolom
Kamis, 25 April 2024 - 20:20 WIB

Perempuan yang Menolong Dirinya Sendiri

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ika Yuniati (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dalam sebuah perjalanan liputan beberapa tahun lalu, saya bertemu dengan seorang perempuan muda, sebut saja Nareswari, 18. Ia menjadi pendobrak di kampungnya, salah satu desa di wilayah Kabupaten Wonogiri.

Nares memulai mimpi dengan memutuskan masuk sekolah menengah atas (SMA) selulus SMP di tengah keterbatasan biaya. Selulus SMA di mendaftar di sebuah kampus di Kota Solo hanya dengan modal tekad. Saat itu keinginan dia hanya satu, berpendidikan dan mendapat pekerjaan layak.

Advertisement

Empat tahun kemudian saya bertemu Nares lagi pada ”dimensi” yang berbeda. Selepas kuliah, ia menjadi pendamping korban kekerasan seksual di wilayah tempat tinggalnya, salah satu kecamatan di Kabupaten Wonogiri.

Nares menjadi konselor yang selalu merangkul korban, memeluk mereka, hingga kembali percaya diri untuk merangkai kembali mimpi-mimpi menjalani hidup. Nares ingat betul salah satu hal yang memantik semangat belajar adalah buku fiksi tentang kehidupan ideal sebuah keluarga kecil.

Advertisement

Nares menjadi konselor yang selalu merangkul korban, memeluk mereka, hingga kembali percaya diri untuk merangkai kembali mimpi-mimpi menjalani hidup. Nares ingat betul salah satu hal yang memantik semangat belajar adalah buku fiksi tentang kehidupan ideal sebuah keluarga kecil.

Ada seorang ayah dan ibu yang bekerja di kantor, punya rumah layak di tengah kota, punya kendaraan, dan gadis kecil dengan mimpi menjadi dokter. Ia membaca kisah fiksi itu saat masih kelas II sekolah dasar (SD).

Buku tersebut dia bawa ke manapun. Gambaran kehidupan ideal itu kemudian terpatri dalam dirinya. Menjadi gambaran lain keluarga bahagia dengan berbagai fasilitas layak, meski jauh dari kondisinya di perdesaan kala itu.

Advertisement

Dalam buku kumpulan surat tersebut, tepatnya di halaman 325, adalah surat Kartini kepada Nyonya Abendanon yang bertanggal 12 Desember 1902. Dalam surat tersebut Kartini bercerita kepada Nyonya Abendanon bahwa mereka yang berikhtiar dan teguh harus sanggup menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri kerap kali lebih sukar daripada menolong orang lain.

”Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula,” kata Kartini kepada Abendanon melalui surat itu.

Dalam buku yang sama, Kartini bercerita dia mendapatkan inspirasi memperjuangkan hak-hak perempuan dari buku Ny. C. Goekoop yang menceritakan perjuangan Hylda van Suylenderb membela hak-hak perempuan di Belanda.

Advertisement

Salah satu isi surat dalam buku itu adalah saat Kartini menginginkan perempuan Indonesia dapat mempelajari banyak bahasa. Menurut dia, dengan mempelajari banyak bahasa, perempuan akan paham buah pikiran penulis buku yang berbahasa asing.

Surat-surat Kartini yang kemudian jadi buah pemikiran ini bukan ada tanpa sebab. Ia dibesarkan oleh buku-buku yang dibaca. Mimpi dan cita-cita tentang perubahan, termasuk mengajak perempuan lainnya memiliki harapan dan cita-cita yang sama, dia gantungkan tinggi-tinggi.

Sama halnya dengan Nares, pertemuan Kartini dengan literasi membawanya pada pandangan lebih terbuka. Ketika dulu sekolah menjadi hal tabu bagi perempuan, Kartini melawan lewat tulisan.

Advertisement

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks kesetaraan gender (IKG) pada 2022 sebesar 0,459 atau turun 0,006 poin dibandingkan pada 2021 yang sebesar 0,465. Angka ini menunjukkan kesetaraan gender di Indonesia membaik.

Dalam hal pendidikan, angka putus sekolah anak perempuan tetap cenderung lebih tinggi. Banyak sekali faktor penyebabnya. Budaya yang tak mendukung perempuan bersekolah lebih tinggi hingga banyak kasus pernikahan dini di sejumlah wilayah.

Sekolah menjadi salah satu jalan para anak perempuan memulai merangkai mimpi-mimpi mereka. Peningkatan literasi salah satunya juga bisa dimulai dari sekolah.

Bersekolah tak sekadar bertujuan mewujudkan mimpi. Keterbukaan diri melalui literasi juga sebagai salah satu upaya mengentaskan semua orang dari segala keterpurukan, mulai dari kemiskinan hingga kekerasan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 April 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif