SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (22/6/2017). Esai ini karya Tito Setyo Budi, seorang penulis, sastrawan, dan budayawan yang tinggal di Sragen, Jawa Tengah. Alamat e-mail penulias adalah titoesbudi@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Timbul perasaan sedih, geram, geli, sekaligus haru tatkala membaca tulisan Anindita S. Thayf bertajuk Nasib Pengarang pada Hari Lebaran di Harian Solopos edisi 21 Juni 2017. Saya merasa sedih karena posisi pengarang semakin tidak jelas (termasuk penghasilannya) di tengah masyarakat kita.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Saya merasa geram karena semakin banyak yang melek huruf ternyata minat membaca justru semakin buruk. Saya merasa geli karena nasib pengarang dihubung-hubungkan dengan Hari Lebaran yang menjadi istimewa sebagaimana bagi para pegawai atau karyawan.

Saya merasa terharu karena keterusterangan Anindita soal honorarium tulisan, kelakuan pengelola media massa atau pers, dunia literer yang kejam itu ternyata direspons oleh redaktur Solopos yang berbesar hati memuat tulisan pendek itu. Saya jadi bertanya-tanya memangnya redaktur media massa yang lain juga mau memuatnya?

Sudah lama dunia kepengarangan di negeri ini berada dalam kondisi antara masih ada dan hampir tiada. Terutama sejak gadget melanda seluruh permukaan bumi. Pengarang yang dahulu berada dalam posisi terhormat, dihafalkan anak sekolah dalam pelajaran sastra, sekarang menjadi sekadar deretan nama-nama tak bermakna kecuali menjadi beban hafalan.

Zaman keemasan dunia kepengarangan sudah hampir lewat dengan ditandai tumbangnya satu per satu media cetak yang secara resmi mengumumkan diri beralih ke format digital, padahal yang sesungguhnya terjadi itu hanyalah sekadar memenuhi tata krama berkomunikasi dengan publik pembacanya.

Setelah Majalah Sastra Horison berpamitan, lalu Majalah Hai, lalu siapa lagi? Kiranya bukan pertanyaan yang sulit dijawab. Tinggal menunggu waktu saja. Belum lagi yang tercatat sebagai media ”kambuhan”: kadang muncul, kemudian tenggelam, muncul lagi, tenggelam lagi.

Ada media yang muncul dengan embel-embel kata ”baru” atau  ”new”, mirip merek mobil, toh akhirnya tersungkur juga. Dunia kepengarangan sempat menjadi magnet kaum muda, terutama pada 1970-an hingga 1990-an. Tampaknya pengarang itu wah, keren, populer, banyak duit, digandrungi banyak orang.

Tak mengherankan kala kemudian membanjir buku panduan menulis, baik prosa fiksi maupun nonfiksi di toko-toko buku. Hingga hari ini. Semua menawarkan, bukan saja teknik jitu (dibilang rahasia menulis juga boleh), tapi juga iming-iming penghasilannya.

Lihat saja buku karangan Mohammad Diponegoro (1985) berjudul Yuk, Nulis Cerpen, Yuk yang diberi kata pengantar oleh Taufiq Ismail. Di situ tertulis: Anda kepengin jadi sastrawan yang tenar di seantero negeri. Atau Anda ingin menulis untuk cari uang. Katakanlah tambahan penghasilan, atau sama sekali sumber yang pokok penegak periuk. Anda tidak perlu merasa malu atau rikuh, sebab Anda tidak akan sendirian. Jika penulis-penulis begini dihimpun, jumlahnya cukup besar untuk membentuk sebuah republik. Dan di antara mereka bisa Anda lihat Shakespeare, O. Henry, Anton Chekhov, Asrul Sani, Yusuf Abdullah Puar, Arifin C. Noer…” (hal. 3-4).

Itu termasuk buku ”sopan”, artinya membujuk secara halus. Ada yang lebih lugas, tegas, tanpa basa-basi. Misalnya Siapa Bilang Jadi Penulis Tidak Bisa Kaya? karya Pracoyo (2006). Atau Ternyata Menulis Itu Mudah dan Menghasilkan Uang karya Satria Nova (2011). Siapa yang tak tergiur?

Selanjutnya adalah: Betapa kontradiktifnya…

Kontradiktif

Kemudian bandingkanlah dengan tulisan Anindita S. Thayf itu. Betapa kontradiktifnya. Siapa yang pantas disalahkan? Yang paling gampang dijadikan kambing hitam memang zaman. Zaman sudah berubah. Bukan cerita omong kosong dulu banyak penulis atau pengarang yang hidup murni dari hasil menulis.

Sebut saja, misalnya, H. Rosihan Anwar, Putu Wijaya, Gerson Poyk, dan sederet nama lagi, bahkan dari kalangan sastra Jawa ada yang legendaris seperti Any Asmara yang sempat menjadi kaya raya dengan novel-novel saku panglipur wuyung karyanya.

Jujur saja saya termasuk yang tergoda untuk menjadi pengarang sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra pada 1975. Dua buku sumber pengetahuan utama dalam mengarang saya beli dengan beasiswa dan saya simpan sampai sekarang.

Dua buku itu adalah How to Analyze Fiction karya William Kenney (1966) dan The Creative Writers Handbook karya Isabelle Ziegler (1975). Sepuluh tahun kemudian saya lengkapi dengan Roughdrafts: The Process of Writing karya Calderonello & Edwars (1986).

Hikmahnya saya memang menjadi (ehm…) pengarang profesional. Sepuluh tahun mencoba hidup dari mengarang dengan satu istri dan tiga anak. Dengan nama pena Daniel Tito hampir seluruh media negeri ini saya kirimi tulisan.

Toh, tetap kocar-kacir saat harus menebus resep dokter untuk anggota keluarga yang sedang sakit, sering terancam langganan telepon diputus, langganan air bersih menunggak pembayaran dan diancam disegel, membayar listrik ketika lewat batas akhir msa pembayaran, dan menunggak sumbangan penyelenggaraan pendidikan anak-anak.

Ketika honorarium sangat diharapkan ternyata tak datang pada waktu dibutuhkan. Bank mana pun tak sudi memberi kredit, betapa pun populernya seorang pengarang. Manajemen bank lebih dipercaya cleaning service perusahaan tapi punya surat keputusan pengangkatan sebagai pegawai.

Itu belum kala ternyata honorarium dikemplang oleh media alias tidak dibayar. Apa yang disampaikan Anindita tentang kemplang-mengemplang honorarium tulisan itu bukan cerita baru. Saya masih menyimpan kliping tulisan kolumnis Ayip Bakar yang kondang di pada 1970-an berjudul Surat Muhibah Ayip Bakar untuk Piek Ardijanto Tegal: Saya ini macam jamur kok…” (Suara Karya, 29 Oktober 1976) yang berkisah tentang honorariumnya yang dikemplang.

Pengalaman Arswendo

Apakah saya terlalu jirih atau tak bernyali? Ada pengalaman berharga dari Arswendo Atmowiloto. Dua tahun menjelang keluarnya dia dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang (kasus penodaan agama terkait penerbitan Tabloid Monitor), saya jagongan cukup lama saat membezuk.



Saya tanyakan apakah setelah bebas dari hukuman nanti akan balik menjadi pengarang? Serta-merta saya teringat kuitansi pembayaran royalti buku yang jumlahnya puluhan juta rupiah yang saya temukan di meja perpustakaan rumahnya saat saya menginap di sana.

Ketika itu dia mengeleng cepat. ”Tidak! Apa kamu kira aku kaya karena mengarang? Aku kaya karena menjadi direktur ini itu di grup perusahaan tempatku bekerja,” kata Arswendo. Sejak saat itu saya seperti tersadar dari mimpi untuk bekerja yang bisa memperoleh penghasilan tetap.

Toh, dengan menjadi dosen, pengusaha, atau yang lain masih tetap bisa mengarang. Apalagi saat sekarang, apa sulitnya mengarang? Setiap orang bisa menjadi pengarang dan menerbitkan karyanya. Begitu kata kawan saya Pandupaksi di Facebook.

Kalau pada waktu-waktu lalu buku Beginners Guide to Getting Published terbitan Writer’s Digest Books, Ohio (1994), laris diburu orang apakah saat ini masih diperlukan? Tak usahlah menunggu Hari Lebaran. Pengarang tak kelaparan pada hari-hari biasa saja sudah bersyukur.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya