SOLOPOS.COM - Anindita S Thayf (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Rabu (21/6/2017). Esai ini karya Anindita S. Thayf, seorang penulis novel dan cerita pendek yang tinggal di Sleman, DIY. Alamat email penulis adalah bambu_merah@yahoo.com.

Solopos.com, SOLO–Ada sajak pendek Sitor Situmorang berbunyi: Malam Lebaran / bulan di atas kuburan. Menurut Sitor (2009), ide sajak itu dia peroleh setelah gagal berhalalbihalal dengan Pramoedya Ananta Toer pada hari Lebaran.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sitor kecewa. Ia berniat pulang, tapi malah kesasar di pekuburan dan melihat bulan. Bila Sitor mendapat ilham sajak pada malam Lebaran, kira-kira apa yang diperoleh pengarang Indonesia saat ini pada hari yang fitri itu nanti?

Rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia adalah keluhan yang sering terdengar beberapa waktu terakhir. Posisi Indonesia yang berada di urutan terendah kedua dari 61 negara di dunia dalam soal minat membaca membuat masalah ini kerap dibincangkan dengan nada prihatin.

Segala upaya dilakukan oleh pemerintah, guru-guru di sekolahan, maupun komunitas literer. Di tengah hiruk pikuk itu tidak ada suara yang berbicara soal kondisi pengarang sebagai produsen bacaan. Nasib pengarang seolah-olah dibiarkan menjadi urusan mereka sendiri.

Ada dua golongan pengarang. Pertama, pengarang pegawai. Artinya, selain sebagai pengarang, dia memiliki pekerjaan utama entah sebagai pekerja kantor, dosen, atau semacamnya. Penghasilan utama pengarang golongan ini berasal dari pekerjaan pokoknya itu.

Biasanya pengarang semacam ini tidak terlalu mengejar honorarium. Selama tulisan mereka dimuat di media massa, mereka sudah merasa senang. Kedua, pengarang yang hidup dari menulis. Pengarang semacam ini betul-betul menggantungkan hidup dari setiap tulisan yang dihasilkan.

Pengarang tipe kedua ini berada dalam kondisi tidak menulis berarti asap dapur tidak mengebul. Mengarang adalah pekerjaan utamanya. Pengarang golongan ini bekerja secara profesional, tetapi pekerjaannya tidak tercacat di Biro Pusat Statistik.

Problem

Menjelang Lebaran begini, nasib pengarang pegawai tidak usah kita risaukan. Dia bakal mendapat tunjangan hari raya (THR) dan bila beruntung juga mendapat gaji ke-13 serta bingkisan Lebaran. Masalah kebutuhan Lebaran yang membengkak tidak terlalu memberatinya.

Hal serupa tidak dirasakan oleh pengarang golongan kedua. Pengarang golongan kedua mesti merancang siasat untuk mengumpulkan uang lebih banyak sejak jauh-jauh hari. Salah satunya dengan cara meningkatkan produktivitas menulis minimal sejak beberapa bulan sebelum Lebaran.

Selanjutnya adalah: Ruang yang disediakan media massa…

Media Massa

Mengingat ruang yang disediakan media massa untuk rubrik sastra sangat terbatas, kesempatan menjual tulisan pun kian kecil. Andaikata semua pengarang mengirim karya ke semua media massa demi mendapat honorarium guna memenuhi keperluan serupa, bisa kita bayangkan betapa ketat persaingan yang terjadi.

Bila karangannya beruntung dimuat, masalah Lebaran pengarang itu belum betul-betul terpecahkan. Penyebabnya adalah media massa tidak pernah langsung membayar tulisan pengarang yang sudah ”dibeli”. Media massa bukanlah pembeli di warung. Istilah ”ada uang ada barang” tidak berlaku di sini. Proses ”perdagangan” tulisan dalam dunia literer Indonesia adalah proses perdagangan yang kejam.

Setelah tulisan dimuat, honorarium pengarang baru dibayar satu atau dua pekan atau sebulan setelah itu, bahkan ada yang berbulan-bulan kemudian setelah ditagih berkali-kali. Jika sedang sial, beberapa media mangkir membayar honorarium pengarang dan pihak yang bertanggung jawab tiba-tiba tidak bisa dihubungi.

Bila pembayaran tepat waktu, nilai honorarium yang diterima pengarang tidak besar. Alhasil, bagi pengarang tipe kedua, menulis bukan hanya perjuangan untuk menghasilkan karya yang mampu mencerdaskan masyarakat sekaligus memikat hati redaktur, tapi juga yang bisa membuat dirinya bertahan hidup di tengah impitan kebutuhan yang kian menggunung.

Pengarang Dunia Ketiga

Dalam lanskap kapitalisme dunia ketiga seperti Indonesia, pengarang masih terpinggirkan. Pada masa awal kemerdekaan, nasib pengarang jauh lebih baik. Hubungan pengarang, penerbit, dan redaktur media massa cukup dekat. Saat itu pengarang bisa meminta uang muka atas karyanya yang akan dimuat, sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada hari ini.

Bila bukunya diterbitkan, seorang pengarang juga akan menerima royalti yang dibayar di muka sesuai jumlah buku yang dicetak. Dengan begitu, dia bisa langsung menikmati hasil kerjanya. Sekarang hubungan pengarang dengan media massa maupun penerbit murni hubungan produksi kapitalis.

Karya yang menguntungkanlah yang diutamakan. Hanya penulis bernama besar atau tenar yang diberi pelayanan khusus, semisal dimuat lebih cepat, mendapat royalti lebih besar, atau dipromosikan dengan gencar. Dalam kapitalisme, entah industri apa pun itu, mendapat keuntungan sebesar-besarnya adalah harga mati.

Industri literer yang kapitalistis inilah yang mengkhawatirkan Octavio Paz (1991). Menurut dia, dalam kondisi kapitalisme neoliberal seperti sekarang ”nilai sebuah buku menjadi sejumlah orang yang akan membelinya.” Itu disebabkan industri penerbitan dikuasai korporasi-korporasi multinasional yang lebih mengutamakan pertimbangan ekonomi daripada pertimbangan kesusastraan.

Tak mengherankan karya-karya populer yang menghibur lebih diutamakan daripada karya sastra yang sulit laku. Kondisi seperti itulah yang menggencet kehidupan pengarang, terutama yang berpenghasilan pokok dari menulis. Sementara publik pembaca selalu menuntut hadirnya karya-karya bermutu, hidup para pengarang kembang-kempis selalu.



Memang ada beberapa pengarang besar menjalani hidup yang sulit dan tetap menghasilkan karya bagus, tetapi itu tidak bisa dijadikan pembenar untuk mengabaikan nasib pengarang. Sebetulnya perhatian terhadap pengarang tak perlu muluk-muluk. Bila mereka menghasilkan buku, belilah karyanya, jangan meminta.

Jangan pula membeli buku bajakan karena itu sama saja dengan membunuh pengarang secara pelan-pelan. Untuk pemerintah, pertimbangkanlah kembali nilai pajak yang dibebankan kepada pengarang.  Dari setiap buku yang terjual, pengarang hanya mendapat pemasukan bersih sekitar 10% dari harga buku tersebut, sebelum dipotong pajak 15%.

Adapun bagi surat kabar, majalah, dan penerbit, bayarlah honor dan royalti pengarang tepat waktu. Tulisan yang dimuat atau diterbitkan ibarat barang yang sudah dibeli sehingga membayar sesuai kesepakatan adalah wajib.

Akhir kata, izinkanlah seorang pengarang menikmati Lebaran setahun sekali selayaknya para pekerja lain agar tenanglah hatinya dan kembalilah semangatnya untuk terus berkarya. Demi masa depan literasi Indonesia yang lebih baik, berikanlah kehidupan yang lebih baik pula untuk pengarangnya. Selamat berlebaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya