SOLOPOS.COM - Algooth Putranto, Analis di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat (JIBI/Solopos/Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (19/12/2016),  Algooth Putranto. Pengajar Ilmu Komunikasi, pernah menjadi analis di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.

Solopos.com, SOLO — Kasus dugaan penistaan agama (blasphemy) di Indonesia bukan hal yang baru. Delik usang ini sama tuanya dengan sejarah eksistensi kolonialisme di Nusantara. Suka atau tidak suka delik hukum tersebut belum disingkirkan dari kitab hukum kita.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Artinya, deretan cerita para penista agama tidak akan berkurang. Sebut saja sejumlah kasus fenomenal yang memantik perhatian publik. Mulai dari paranormal Permadi, bekas perangkai bunga Lia Eden, hingga tentu saja calon Gubernur DKI Jakarta Petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Bagaimana dengan Solo? Mungkin banyak yang lupa atau tidak tahu. Akhir Oktober lalu terjadi kasus perobekan Alquran. Kabarnya pelaku dalam pengaruh alkohol dan rasa cemburu. Sampai mana kasus tersebut berjalan? Entah! Mungkin karena terjadi di Solo dan tidak ada tautan politik daerah yang membuatnya cukup untuk membesar serupa kasus kepeleset lidah yang dialami Ahok.

Ekspedisi Mudik 2024

Kembali soal menariknya melodrama politik Ahok, untuk kali pertama mayoritas televisi bersiaran nasional (free to air) dalam negeri yang ”menghamba” pada rezim rating tiba-tiba sepakat tidak akan menyiarkan secara langsung (live) persidangan Ahok.

Keputusan tersebut lahir dalam Forum Rembuk Media yang diinisiasi Ikatan Jurnalis Televisi Inbdonesia (IJTI) dan difasilitasi Dewan Pers pada 9 Desember. Hadir dalam ajang curah pendapat itu para pemimpin newsroom televisi, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat), dan tentu saja Dewan Pers.

Swaregulasi

Dalam pertemuan itu kesepakatan tidak melakukan siaran live adalah manifestasi dari komitmen dan ketaatan para jurnalis televisi untuk menjalankan prinsip swaregulasi yang didasarkan pada wisdom (kebijaksanaan) ruang redaksi (newsroom). Tindakan yang diklaim oleh peserta pertemuan sepenuhnya ditujukan untuk kemaslahatan publik.

Dilontarkan pula alasan kemungkinan terjadinya pengadilan oleh pendapat umum serta adanya potensi untuk membelah dan memicu potensi konflik di kalangan masyarakat, terutama di antara pengikut tokoh yang akan dihadirkan sebagai saksi atau ahli.

Meski demikian, para peserta pertemuan menilai peliputan dan siaran secara live tetap harus dilakukan demi memenuhi hak publik untuk tahu (right to know). Dalam hal ini, siaran langsung dari ruang sidang hanya dilakukan saat pembukaan sidang dan pembacaan vonis saja.

Muncul juga pendapat perlunya televisi untuk menghindari penggunaan pengamat yang mengomentari jalannya sidang karena hal tersebut dikhawatirkan dapat memunculkan pengadilan oleh pers (trial by press).

Tentu menjadi mengherankan jika opini yang lahir dalam forum yang bersifat terbuka sehingga tidak memiliki ikatan moral untuk dipatuhi ternyata berhasil menjinakkan kuatnya rezim rating yang selama ini masih dianut televisi di Indonesia.

Jadi ini mungkin untuk kali pertama, meski rating siaran sidang Ahok dijamin tinggi dan ada sejumlah besar pemirsa (viewer) yang menunggu siaran tersebut, televisi kita dengan berani mengabaikan lambaian keuntungan di depan mata.

Sebuah fenomena yang menarik jika kita ingat betapa masifnya sejumlah televisi nasional yang menyiarkan persidangan kasus kopi beracun yang nirmakna dan nirmanfaat bagi kepentingan publik yang disiarkan berjam-jam secara live menggunakan frekuensi milik publik yang memaksa KPI Pusat melayangkan teguran.

Baca Juga: Angin Lalu dan Noda Demokrasi

Angin Lalu

Harap dicatat, teguran itu pun dianggap angin lalu. Kemudian mengapa muncul alasan televisi untuk tidak melakukan siaran secara live? Dari sisi alasan sejatinya kurang kuat karena pada prinsipnya sidang kasus dugaan penistaan agama oleh calon Gubernur DKI Jakarta Petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, seharusnya terbuka untuk umum (openbaar).

Sejauh ini kitab hukum positif yang digunakan hanya menyebutkan sidang dinyatakan tertutup untuk umum hanya dalam perkara kesusilaan atau perkara dengan terdakwa anak-anak (berumur di bawah 18 tahun). Itu pun vonis atas perkara tersebut tetap harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Jika tidak, putusan itu batal demi hukum.

Artinya, dalam kasus di luar perkara kesusilaan atau perkara dengan terdakwa anak-anak, setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara. Hal ini sebagai penghormatan terhadap hak konstitusional warga, yakni hak untuk tahu (right to know) dan hak untuk hadir dalam pertemuan publik (right to attend public meeting).

Asas openbaar sendiri memiliki tiga tujuan. Pertama, menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak memihak bahkan peradilan sesat (miscarriage of justice) karena diawasi oleh publik. Kedua, memberi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan.

Noda Demokrasi

Ketiga, lebih menjamin objektivitas peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang fair serta putusan yang adil kepada masyarakat. Meski demikian, patut disadari pendapat Jean Baudrillard yang sinis menuding televisi bukanlah media komunikasi karena sejatinya televisi justru mencegah pemirsa memberikan tanggapan atas umpan komunikasi yang diterimanya.

Pendapat ini diperkuat oleh antropolog Marcel Maussyang menilai kemampuan televisi membanjiri citra kepada pemirsanya adalah dominasi persepsi. Akibatnya, pemirsa dihegemoni oleh tayangan yang disodorkan. Akibatnya alasan siaran live sebuah persidangan tidak harus dilakukan oleh televisi sangatlah mendasar.



Pertama, bahwa durasi sidang secara live berjam-jam ditambah komentator yang dihadirkan di ruang redaksi dapat merupakan bagian dari trial by the press karena berpotensi memicu pembingkaian (framing) yang dapat memengaruhi pemirsa bahkan pengadil.

Kedua, patut diingat bahwa televisi adalah media audiovisual yang bersifat bebas tafsir. Artinya, pemirsa dapat menginterpretasikan apa yang disajikan televisi sesuai persepsi yang ada di kepala mereka.

Hanya saja keputusan televisi-televisi tersebut akan memunculkan praduga masyarakat adanya pembatasan kemerdekaan yang bersumber dari lingkungan pers sendiri (self sensorship) atau justru dari luar lingkungan pers yang bersumber dari kekuasaan publik (public authority). Hal yangtidak akan serta-merta mudah dibantah.

Belum lagi diakui atau tidak sampai saat ini masih kuat upaya melestarikan mistifikasi harmoni ala Orde Baru yang mengakibatkan inklusivitas semu dengan imbas menguatnya prasangka terhadap identitas dan pola keagamaan yang berbeda semakin menguat.

Inilah sebuah amnesia komunal yang dialami sebagian kecil elemen anak bangsa yang lupa bahwa bangsa yang mendiami Nusantara ini memang dilahirkan multietnis, multikultural, dan tentu saja multikeyakinan.

Repotnya, kasus Ahok telanjur terinternasionalisasi. Hal ini dilihat dari perhatian media internasional dengan standar nilai berbeda menyebut kasus Ahok adalah ujian bagi nilai kebangsaan Indonesia. Artinya, apa pun hasil persidangan Ahok berpotensi menjadi noda demokrasi serupa misteri kasus asusila politikus Malaysia Anwar Ibrahim.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya