SOLOPOS.COM - Kelompok hadrah Zamzabila bersiap memainkan alat musik rebana di Panggung Kampung Solo, Plaza Sriwedari, Minggu (22/2/2015). Pentas seni itu diselenggarakan Pemerintah Kota Solo sebagai upaya melestarikan kesenian tradisional. (Muhamad Muchlis/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos kali ini karya Fadjar Sutardi. Penulis merupakan perupa yang juga aktivis di Komunitas Pintu Mati, tinggal di Sragen.

Solopos.com, SOLO — Mengelola kualitas-kualitas perasaan estetis anak-anak, remaja, pelajar, atau mahasiswa dengan tujuan memberikan ruang dan media pembebasan emosi jiwa muda yang peka dan gampang meledak ternyata tidak begitu rumit.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ruang dan media pembebasan estetis tersebut juga membawa kualitas spiritual untuk menajamkan kepekaan mereka. Hal demikian, tentu dapat menarik antusiame anak-anak muda dalam masa-masa pencarian identitas mereka.

Inilah tampaknya, proyek kesenian terhormat yang digodok dan dikelola dosen-dosen muda Program Studi Seni Rupa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (FKIP UNS), Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) UNS, dan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.

Proyek kesenian ini digarap bekerja sama dengan jaringan kesenian anak muda yang tumbuh di Solo beberapa tahun terakhir. Mereka membuat jaringan kesenian dengan beberapa sekolah, mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah.

Mereka juga menggandeng keluarga muda di kampung-kampung pinggiran, komunitas kesenian yang tumbuh di sudut-sudut kota, dan mahasiswa seni rupa yang berpikiran bebas dan kreatif dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Bali, bahkan dari luar negeri, seperti Malaysia, Jepang, Brunei Darussalam, dan Australia.

Proyek tersebut kemudian diangkat dalam forum pameran seni rupa cukup  mewah bertajuk Art Educare#6: Art in Between di Taman Budaya Surakarta (TBS), 16-20 Maret lalu. Tema tersebut kira-kira mengisyaratkan kesenian, senyatanya adalah milik kita semua.

Kesenian tidak harus ditempatkan di menara gading yang tinggi, tidak harus berurusan dengan galeri komersial, tidka harus berurusan dengan pasar atau balai lelang. Kesenian berada dan hidup dalam jiwa siapa saja yang berpikiran cerdas dan kreatif dalam memandang masa depan.

Kesenian tidak harus menjadi sesuatu yang mahal. Kesenian ada dalam permainan keseharian manusia akan menguntit kita selamamnya asalkan kita mau mendekat dan mengasahnya.

Pameran yang dikoordinasi Adam Wahida dan dikuratori Hendra Himawan itu tampaknya menghasilkan genre baru bagi perkembangan seni rupa di Solo. Puluhan karya seni rupa memenuhi ruang publik seni milik orang Solo ini dengan nuansa seni yang berbeda dibanding biasanya.

Sebagai gambaran ”kemewahan” pameran tersebut, pintu masuk ruang pameran dipenuhi ribuan layang-layang berwarna kuning dengan gradasi oranye kemudian memerah.

Itu melambangkan ribuan anak muda sedang melambungkan jiwa kesenian mereka ke langit biru kesenirupaan dunia yang tidak bebas lagi seperti bebasnya gerak layang-layang karena tertutup awan pasar seni kapitalis yang membutakan roh kesenian itu sendiri.

Memasuki galeri besar disambut ratusan karya yang segar bergerak ke kanan dan ke kiri serta melingkar dengan alunan kebebasan seperti yang diharapkan pengelola proyek kesenian nirlaba dan semata-mata untuk tujuan ”ibadah” ini.

Nama-nama komunitas seni rupa memenuhi ruang galeri besar dan galeri kecil TBS, misalnya Mess 56 Jogja, Serrum Jakarta, Artist By Malang, School Art Lab Solo, Tugitu Unite Solo, Sayap Solo, juga komunitas mahasiswa seni rupa dari pelbagai perguruan tinggi di Solo dan luar Solo.

Karya-karya yang ditampilkanpun sangat beragam. Pemanfaatan medium dua dimensi, tiga dimensi, video art, dan sebagainya menambah gegap gempitanya pameran tersebut.

Kesan gegap gempita pameran ini terekam saat pembukaan pada Senin (16 Maret). Ribuan anak muda dari berbagai penjuru kota hadir mengalir berjejalan memasuki kompleks tanah perdikan (sebutan TBS pada zaman Murtidjono).

Dulu tempat ini pernah menjadi media ”pentahbisan” para seniman dari berbagai belahan dunia. Mereka datang untuk menyaksikan dan memberikan kesaksian atas dinamika anak muda yang tidak mau disebut sebagai seniman dan menjadi medan silaturahmi jiwa-jiwa mereka.

Tidak berlebihan ketika Adam Wahida merasa terharu atas keterlibatan penuhnya pada proyek yang membanggakan ini. Jiwa kebersamaan tumbuh dengan ikhlas tanpa ada yang merasa tinggi dan merasa rendah.

Rupanya target Hendra Himawan selaku kurator terlampaui dengan baik saat ia berpikiran tentang pameran yang berstruktur multifaset dengan menelurkan partisipasi dari berbagai kalangan komunitas seni yang dapat menjaga nilai-nilai kolaboratif, kekuatan komunitas, dan nuansa sosial yang tinggi.

Api anak muda mulai hidup dan membakar kreativitas mereka dengan leluasa dalam tubuh dan komunitas mereka. Nyala api tersebut memang belum bisa terukur seberapa kekuatannya.

Api tersebut kemungkinan bisa membesar atau kemungkinan memadam pelan-pelan seiring pertumbuhan dan perjalanan jiwa mereka. Pelaku seni sepakat ingin menjaga api anak muda tersebut.

Apakah ruang dan waktu kita cukup untuk ”menampung gejolak liar” mereka secara konsisten? Pertanyaan ini mulai muncul ketika tulisan ini menukik pada persoalan yang mendasar, yakni seberapa jauh niat kita untuk mengobarkan api yang menyala ini.

Berat dan Sulit
Tulisan ini bukan ingin menunjukkan kekhawatiran atas kelanjutan proyek-proyek kesenian yang berjalan dan sudah terbaca dengan baik oleh kalangan peminat kesenian kita, tetapi ingin urun rembug yang mungkin berguna bagi kita semua.

Hal ini penting mengingat berbagai pengalaman dalam menjaga komunitas agar tetap bisa berdialog dengan hidup dan konsisten dalam berkesenian sangatlah berat dan sulit.

Ada beberapa hal pokok yang dapat dijadikan sandaran dalam menjaga keberlangsungan kehidupan komunitas kesenian. Peertama, para penjaga kesenian dalam model proyek ini diharapkan memiliki niat yang besar untuk menegakkan konsep nandur (menanam).

Konsep nandur ini terambil dari nilai kultur agraris kita dan bukan kultur urban yang gampang berubah-ubah oleh dinamika ruang dan waktu yang berjalan seperti yang selama ini kita saksikan.

Modal ana sing ditandur atau potensi kreativitas yang dimiliki anak-anak ini merupakan dasar pijakan dalam pengelolaan proyek pendidikan seni rupa nirlaba ini, yakni menghidupkan roh kemanusiaan mereka agar tidak terjebak pada mekanisme jual beli kesenian kapitalistis yang semata-mata menyegerakan keuntungan materi.

Penjagaan roh yang bernama kekuatan kreativitas yang dimiliki individu anak-anak muda untuk ditanam (ditandur) melalui model proyek kesenian yang murah, tidak birokratis, dan komersial ini oleh Harold O. Rugg (2010) disebut sebagai popular schooling (pendidikan yang murah).

Pendidikan murah menjadi cita-cita Rugg setelah ia bergabung dengan Alfred Stieglitz, sastrawan Rusia, sebagai bentuk perlawanan (wartime testing work) terhadap model pendidikan yang puritan dan mengabdi hanya pada kebudayaan mesin.

Dalam wilayah popular schooling akan ditemukan kurikulum sejati tanpa adanya rekayasa-rekayasa (methodical engineering). Kedua, para penjaga proyek kesenian ini seharusnya memiliki sifat-sifat kesabaran dan  kesadaran sebagai penanam (ana sing nandur).

Para penanam estetika kreatif inilah yang nanti bertanggung jawab atas keberlangsungan perkembangan hidup matinya jiwa anak-anak ini. Mereka bisa tumbuh secara progresif atau tetap terbangun dalam kontruksi hakiki sesuai dengan realitas kehidupan mereka sepenuhnya tergantung pada kesiapan para penjaga kesenian ini.

Senada dengan Rugg, Herbert Read menyatakan kesadaran mengelola kesenian secara kultural merupakan dasar dalam memerankan diri para penjaga kesenian ini sebagai tukang pencipta cita rasa (taste maker).

Para pencipta cita rasa seni anak-anak ini oleh James King disebut sebagai impresario kebudayaan yang sesungguhnya  karena dari sinilah produktivitas kekaryaan seni dan kritiknya akan membawa mereka pada kemajuan yang luar biasa.



Ketiga, komunikasi mendalam dengan anak-anak perlu dilakukan terus-menerus dari ke hati. Dalam teori kultur agraris kita ini bisa disebut sebagai matun tandur (mengkritik yang ditanam dengan dialog).

Komunikasi efektif bisa dilakukan dengan menabur dan menebar persoalan apa saja yang ”melanda” perasaan mereka. Pendekatan model guyonan berbuah saran merupakan hal yang mungkin dapat dikembangkan sesuai kondisi mereka masing-masing.

Komunikasi efektif ini juga bertujuan agar mereka memiliki pribadi yang utuh, tidak terbelah. Carl Rogers meneorikan sebagai model pendekatan person centered therapy (terapi berpusat pribadi yang terjaga).

Bentuk terapi memusat ini pada puncaknya dapat direalisasikan ke dalam diskusi dan pameran untuk mengkritik perkembangan kekaryaan mereka (exibhition-laboratory).

Dari laboratorium pameran ini mereka oleh Pitcer (1982) disebut memiliki kesadaran yang kritis dan positif dalam berkomunikasi  dengan dirinya dan orang lain. Kelompok dituntut untuk bekerja sama dan mengerti orang lain.

Anak merupakan pribadi sosial yang memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain untuk memanusiakan dirinya. Membangun relasi diri dengan teman-temannya melalui dialog kekaryaan menjadi sebuah keniscayaan.

Ketiga hal yang dipaparkan di atas hanya bertujuan agar kualitas-kualitas emosional anak-anak muda yang tumbuh secara kultural tersebut pada saatnya dapat diundhuh (dipanen).

Laku memanen ini dengan semangat memanusiakan manusia muda ke dalam kancah hidup dan kehidupan secara normal dan tidak ada kepentingan yang terkadang menyelinap di lubuk hati kita semua.

Kali ini, genderang sudah ditabuh, para perupa muda siap melabuhkan jiwa mereka dengan rasa merdeka. Tinggal kita apakah mau dan mampu menjaganya atau sebaliknya. Masyarakat seni rupa siap menunggu acara dan panenan tahun yang akan datang.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya