SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Akhir tahun ini Institut Seni Indonesia (ISI) Solo akan memilih rektor baru. Bisa jadi rektor lama akan kembali terpilih, atau dapat juga muncul sosok baru. Saat ini ada tiga kandidat yang akan bertarung memperebutkan suara dari senat dan kementerian. Mereka adalah Guntur (petahana), I Nyoman Sukerna, dan Sunarmi.

Terlepas siapapun yang akan terpilih, ada pekerjaan besar yang harus diselesaikan di lembaga pendidikan pelat merah itu. Posisi ISI di hari ini cenderung problematis, mengingat target Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan senantiasa bermuara pada capaian-capaian yang pragmatis, yakni menjadikan lulusan sebagai pegawai, wirausahawan, dan apa pun yang berbau kalkulasi untung rugi materi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) adalah salah satu contoh kecilnya, yang mengharuskan mahasiswa magang (kata lain bekerja) pada calon pengguna jasanya. Kampus kemudian menjadi seperti pabrik yang mengharuskan mahasiswa memiliki ketrampilan sama sebagai “pekerja”. Sementara kuasa pemikiran, kearifan, empati, dan tanggung jawab moral semakin tak mendapat tempat.

ISI Solo (dan kampus seni lainnya) dengan kekhususan yang dimiliki, sebagai lembaga pendidikan yang bergerak dalam menjaga benteng kebudayaan (terutama kesenian tradisi), diperlakukan serupa dengan kampus atau universitas umumnya. Akibatnya, ISI terseok-seok dalam menuruti kemauan dari pusat.

Contoh lain, agar status lembaga meningkat dari satuan kerja (satker) menjadi badan layanan umum (BLU), ISI harus meningkatkan kapasitas mahasiswanya. Status sebagai satker mewajibkan seluruh pendapatan–termasuk SPP mahasiswa–harus masuk ke kas rekening kementerian dahulu sebelum digunakan. Sementara sebagai BLU, seluruh penerimaan nonpajak dapat dikelola kampus secara otonom.

Untuk menaikkan status itu, salah satu syaratnya adalah konon jumlah mahasiswa minimal 8.000 orang. Padahal mahasiswa ISI kini masih berjumlah sekitar 4.000-an orang.

Jurusan atau program studi diminta membuka keran penerimaan mahasiswa dua kali lipat dari biasanya. Jurusan Pedalangan misalnya yang sebelumnya maksimal menerima 10 mahasiswa, kini bisa 25 mahasiswa, bahkan lebih.

Cita-cita menjadi BLU terus digencarkan, termasuk dengan melahirkan program-program studi baru agar mampu menarik minat calon mahasiswa. Ukuran jumlah mahasiswa 8.000 orang tentu mudah diraih oleh kampus atau universitas yang memiliki keanekaragaman bidang keilmuan. Tetapi target itu akan sangat menguras energi bagi ISI.

Oleh karena itu pemimpin ISI ke depan diharapkan tidak semata menjadi “unit pelaksana” dari kebijakan-kebijakan dari pusat, tetapi juga rela “bertarung berdarah-darah” memperjuangkan ISI sebagai kampus berbeda dan spesifik. ISI adalah kampus yang ukuran keberhasilannya tidak dengan mencetak lulusan seniman sebanyak-banyaknya, tetapi individu-individu yang khatam berwawasan budaya, mampu menjaga keadaban, mempertahankan marwah keIndonesiaan, dan menjadi manusia berilmu-bertanggung jawab pada akar tradisinya.

Lulusan ISI adalah agen terakhir yang mempertahankan nilai-nilai ke-Indonesiaan di kala semua berlomba-lomba mendamba kebaruan atas nama modernitas. ISI bergerak secara hening di antara kebisingan. Jika ISI harus mengorbankan harga dirinya untuk menjadi “serupa” dengan kampus lain, maka kita kehilangan benteng penjaga kebudayaan terakhir itu.

Seniman-seniman tidak dicetak, tetapi dilahirkan. Dan untuk melahirkannya butuh proses kompleks, karena urusan menjadi seniman bukan sekadar mampu membuat karya seni, namun juga berilmu, bertanggungjawab, dan lebih penting lagi memiliki empati pada kehidupan.

Jika tolok ukurnya adalah fabrikasi, bekerja selayaknya pabrik, maka bisa dipastikan lulusan ISI akan terus kalah bersaing dengan kampus lain dengan “cetakan langsung kerja”. Seniman sarjana adalah seniman yang mawas diri. Seberapa pun dunia telah berubah, tradisi akan tetap menjadi akar untuk berkarya, berdialog, bahkan melawan.

Petarung

Sayangnya, pemerintah pusat seolah lupa akan tujuan utama pendirian kampus ISI. Kampus yang lahir justru karena keprihatinan semakin merosotnya nilai-nilai kebudayaan Indonesia, kemudian harus diaudit berdasarkan ukuran-ukuran kuantifikasi. Seberapa banyak lulusan, seberapa banyak mahasiswa yang masuk, dan seberapa banyak karya seni terjual atau laku. Semuanya adalah gaya normatif dalam menilai sebuah institusi berdasar capaian untung-rugi.

Semakin banyak meluluskan dan menerima mahasiswa, maka dianggap semakin kompeten. Padahal adakah yang salah jika misalnya Jurusan Pedalangan hanya memiliki lima mahasiswa? Dengan upaya mencetak dalang yang tidak semata laris, tetapi juga bermutu, selayaknya Ki Manteb Soedharsono yang beberapa waktu lalu meninggal dunia. Sedikit namun berkelas.

ISI memiliki jaringan dengan kampus seni lain bernama Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKSPTSI). Idealnya, BKSPTSI tidak semata bertemu untuk mengadakan acara-acara seni seperti Festival Kesenian Indonesia (FKI), tetapi juga menggodok dan merumuskan arah kebijakan kampus seni ke depan.

Rektor yang tergabung dalam BKSPTSI secara bersama-sama dapat bersepakat, membuat rekomendasi yang bisa disampaikan ke kementerian. Rekomendasi itu misalnya dapat berisi tentang peningkatan status agar ISI dapat mengelola anggaran non-pajak secara otonom, dan remunerasi bagi pendidik secara layak.

Di balik nama besar ISI, dan karena statusnya masih satker, dosen-dosennya tidak mendapat upah layak seperti di kampus lain (yang sudah BLU atau badan hukum). Bayangkan, gaji rektor (pimpinan tertinggi) tidak ada seperempat dari tunjangan kepala biro (kabiro). Pendidik juga tidak mendapatkan remunerasi kendati tugas kerjanya seringkali melebihi beban yang diberikan.

Dengan kata lain, ISI membutuhkan pemimpin yang berani berperang, beradu pendapat, berjuang hingga tetes keringat penghabisan, dan mampu mempertahankan prinsip demi kemaslahatan kampusnya. Rektor tentulah bukan pejabat birokratif yang semata mengerjakan apa yang sudah ditetapkan dari pusat, tetapi juga pemimpin visioner, yang mampu melahirkan perubahan-perubahan bermakna.

Sorak-sorai meraih gerbong baru menuju kapitalisasi tak harus lekas diikuti tanpa pertimbangan matang. ISI idealnya mampu menjadi wadah di mana manusia Indonesia dapat “pulang kampung” untuk menengok dan membasuh wajahnya dengan tradisi, mengetahui dengan detail siapa dan dari mana asal-muasalnya. Pemimpin ISI wajib menyampaikan unikum yang dimiliki lembaganya kepada pemerintah pusat, menjelaskan latar belakang ISI lahir, dan kenapa harus diperlakukan secara berbeda.

Perlakuan berbeda itu tentu bukanlah sebentuk menganakemaskan ISI, tetapi sebagai upaya menjaga marwah institusi terakhir yang “memelihara” tradisi demi Indonesia agar tak lekas kehilangan jati diri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya