SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom Solopos, Senin (7/9/2015), ditulis Ahmad Djauhar. Penulis adalah Ketua Dewan Redaksi Harian Solopos.

Solopos.com, SOLO — Menyaksikan antusiasme pengunjung pameran buku yang digelar Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), yang digelar sejak 2 September dan berakhir kemarin, terasa begitu membanggakan, seolah-olah minat baca bangsa ini sedemikian tingginya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sayangnya, hidup ini terlalu nyata dan bangsa ini tentu saja tidak bisa hidup dalam keadaan seolah-olah. UNESCO memiliki catatan tersendiri. Catatan badan yang bernaung di Perserikatan Bangsa-Bangsa itu membuat miris.

UNESCO menyebutkan indeks membaca orang Indonesia hanya 0,001, yang berarti dari 1.000 jiwa di negeri ini hanya seorang yang masih memiliki minat untuk membaca buku. Di industri perbukuan nasional, berdasarkan catatan Ikapi, jumlah terbitan tiap tahun sekitar 30.000 judul.

Anehnya, jumlah ISBN—nomor unik untuk setiap buku yang diterbitkan—yang dikeluarkan Perpustakaan Nasional kurang dari 10.000 judul buku per tahun. Catatan penerbitan buku tersebut tidak disertai perincian berapa banyak di antara terbitan itu yang berupa buku pelajaran sekolah dan berapa buku nonsekolah.

Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah memang gencar memproduksi buku sekolah. Selain untuk memenuhi kekurangan yang cukup signifikan di masa-masa sebelumnya, langkah ini juga didukung tersedianya anggaran untuk itu.

Bagi pelaku bisnis buku pada umumnya, tidak terlalu banyak judul buku baru yang dapat merebut hati masyarakat. Tidak jarang dari pencetakan minimal 3.000 buku baru untuk sebuah judul, dapat terserap separuh dalam tempo setahun sudah dianggap lumayan.

Masalah yang dihadapi bangsa ini adalah keengganan masyarakat untuk membaca, baik buku, media cetak, maupun media online. Kecenderungan untuk malas membaca ini tentu saja menjadi ancaman bagi keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa.

Dari berbagai wacana yang muncul tentang minat baca di Indonesia, berdasarkan aneka survei, mencuat sejumlah fakta yang dapat menciutkan nyali kita sebagai bangsa. Pada 2006, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 8,.9% masyarakat Indonesia memilih untuk menonton TV, 40,3% mendengarkan radio, dan hanya 23,5% yang membaca koran atau media cetak.

Pada 2013, UNDP, badan PBB yang mengurus program perkembangan anggota badna dunia ini, merilis hasil survei Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan primer sebuah bangsa. Ketika itu UNDP menempatkan Indonesia pada posisi ke-124 dari 187 negara. Rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia itu disebabkan berbagai faktor, namun yang sangat berpengaruh adalah rendahnya minat baca.

Berdasarkan studi oleh Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi (OECD) pada 2009 yang bertajuk Programme for International Student Assessment/PISA di 65 negara—dengan mengukur kemampuan 470.000 siswa berusia 15 tahun di bidang matematika, sains, dan membaca—muncul data yang cenderung memilukan. Indonesia berada di peringkat 60 alias kelima dari bawah untuk membaca serta peringkat 64 atau kedua dari bawah untuk matematika dan sains. [Baca: Pelemahan Kualitas]

 

Pelemahan Kualitas
”Kemalasan” masyarakat untuk membaca ini tentu saja mengkhawatirkan karena wawasan mereka cenderung makin sempit dan bersifat ”sumbu pendek” alias mudah meledak bila dipicu oleh berbagai hal yang kurang menyenangkan menurut versi mereka.

Tidak jarang desas-desus yang beredar melalui media sosial begitu mudah dibaca sebagai kebenaran, sehingga acap kali memicu amuk massa. Ancaman lebih nyata atas kemalasan membaca ini bermuara pada terjadinya deselerasi atau pelambatan pada industri media cetak dan online nasional sehingga tiras media cetak cenderung semakin merosot dari tahun ke tahun.

Ancaman bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara justru terletak pada masa depan negeri ini sendiri karena kalau masyarakat—terlebih generasi muda—makin enggan membaca, Indonesia bakal masuk kelompok illiterate nation.

Dampak lain dari keengganan membaca secara meluas adalah terbentuknya generasi asbun alias asal bunyi. Seiring dengan maraknya perkembangan media sosial, kita menyaksikan begitu banyak mereka yang berkomentar asal bunyi terhadap suatu isu tanpa membacanya terlebih dulu konten maupun konteks informasi itu.

Akibatnya, sering terjadi pewacanaan tidak sehat terhadap suatu isu karena pemahaman masyarakat atas berbagai hal teramat rendah. Ini akibat minimnya materi maupun kedalaman pemahaman seiring dengan rendahnya minat baca tersebut.

Sudah begitu, pemerintah juga tidak terlalu mendukung pembangkitan minat baca masyarakat. Hal itu terlihat dari masih banyaknya pungutan—dibaca: pajak—atas berbagai produk bacaan yang seharusnya dibebaskan karena komoditas ini bertujuan meningkatkan intelektualitas masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 122/PMK.011/2013, terdapat sejumlah buku yang dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN), namun terbatas pada buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama. Selain ketiga jenis buku tersebut, masih banyak jenis-jenis buku lainnya.

Lucunya, pemerintah justru membebaskan PPN untuk kelompok usaha jasa hiburan termasuk di antaranya diskotek, karaoke, dan kelab malam. Ketentuan itu diatur melalui PMK No. 158/PMK.010/2015 yang ditandatangani Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro pada tanggal 12 Agustus 2015. PMK ini menetapkan sejumlah jenis jasa kesenian dan hiburan dalam kelompok yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN).

Jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai itu meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan. Demikian bunyi Pasal 2 ayat (1) PMK tersebut. Sungguh membahagiakan tampaknya, bagi mereka tentunya.

Adapun jenis kesenian dan hiburan yang termasuk tidak dikenai PPN itu adalah tontonan film, tontonan pergelaran kesenian, tontonan pergelaran musik, tontonan pergelaran tari, dan/atau tontonan pergelaran busana.

Selain itu, ada pula jenis kesenia tontonan kontes kecantikan, tontonan kontes binaraga, dan tontonan kontes sejenisnya: tontonan berupa pameran, diskotek, karaoke, kelab malam, dan sejenisnya; tontonan pertunjukan sirkus, tontonan pertunjukan acrobat, dan tontonan pertunjukan sulap; tontonan pertandingan pacuan kuda, tontonan pertandingan kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; serta tontonan pertandingan olahraga.

Pelaku industri media cetak dan perbukuan sudah hampir 10 tahun terakhir ini seolah-olah mengemis-ngemis untuk memohon pembebasan PPN bagi program yang kami beri tajuk No Tax for Knowledge tersebut. Ini semakin memberikan gambaran bahwa bangsa ini dilarang untuk menjadi cerdas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya