SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (19/10/2015), ditulis wartawan Solopos Mulyanto Utomo.

Solopos.com, SOLO — Samuel P. Huntington yang menjadi keynote speaker dalam sebuah konferensi internasional tentang reformasi hubungan sipil-militer di Washington DC, Amerika Serikat, Maret 1995,  mengatakan persoalan hubungan sipil-militer di masa depan, di negara demokrasi baru, bukan berasal dari pihak militer, akan tetapi justru dari pihak sipil. Benarkah?

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Mencuatnya isu bela negara yang dilontarkan Kementerian Pertahanan awal pekan lalu saya kira adalah salah satu ”persoalan” baru hubungan sipil-militer di Indonesia yang dalam dua dasawarsa terakhir ini sesungguhnya sudah berlangsung sangat baik.

Huntington, penulis buku terkenal The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil-Military Realtions (1957) itu, menyatakan persoalan hubungan sipil-militer akan muncul dari kegagalan pemerintahan demokratik untuk meningkatkan perkembangan ekonomi dan memelihara hukum dan ketertiban.

Ekspedisi Mudik 2024

Persoalan juga akan timbul dari institusi politik yang lemah dan pemimpin politik ambisius yang mungkin memasukkan militer sebagai kaki tangannya untuk melemahkan atau bahkan menghancurkan demokrasi.

Pesan yang disampaikan pengamat militer kelas dunia ini tentu saja berlaku secara universal, termasuk di Indonesia. Sejak 20 tahun lalu telah terjadi revolusi politik yang luar biasa. Transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi telah terjadi di seluruh belahan dunia. Ini adalah sebuah realitas.

Profesor di Universitas Albert J. Weatherhead III dan pemimpin John M. Olin Institute for Strategic Studies di Harvard University ini mengatakan sesungguhnya semua rezim otoritarian, apa pun tipenya, mempunyai kesamaan dalam satu hal.

Hubungan sipil-militer tidak begitu mereka perhatikan. Hampir semua tidak memiliki karaktersitik hubungan sipil-militer sebagaimana di negara industrial yang demokratis. ”…Yang saya sebut dengan istilah kontrol sipil objektif (objective civilian control),” kata Huntington.

Apa itu kontrol sipil objektif? Pertama, profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer terhadap batas-batas profesionlisme yang menjadi bidang mereka.

Kedua, subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer. Ketiga, pengakuan dan persetujuan dari pemimpin politik atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer. Keempat, terjadinya minimalisasi militer dalam politik dan meminimalisasi intervensi politik dalam militer. [Baca: Mengagetkan]

 

Mengagetkan
Nah, berkait dengan hubungan-sipil militer ideal di era demokrasi modern seperti itulah terasa mengagetkan berbagai kalangan ketika Kementerian Pertahanan menargetkan akan menciptakan kader bela negara? sebanyak 100 juta orang dalam 10 tahun ke depan.

Semua kalangan masyarakat wajib ikut serta dalam program bela negara yang akan dilatih oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kementerian Pertahanan.? Pelatihan dan pendidikan bela negara ini akan dimulai pada awal 2016. Pertanyaannya adalah, untuk apa latihan itu?

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu? mengingatkan bila ada warga negara Indonesia yang tidak mau ikut bela negara dan tidak cinta pada bangsa ini, ia mempersilakan keluar dari Indonesia.

?”Bela negara ini hak dan kewajiban masyarakat kepada negara yang perlu disiapkan?. Hidup bersama, besar bersama, hancur pun harus bersama di sini. ?Kalau tidak suka bela negara, tidak cinta tanah air, angkat kaki saja dari sini,” kata Ryamizard. Sebuah pernyataan khas militer: keras dan tegas.

Tentu saja pernyataan soal bela negara yang belum terkonsep secara detail, belum pernah diterapkan di Indonesia, belum pernah disampaikan latar belakangnya, kemudian memicu spekulasi, beragam persepsi, bahwa bela negara itu tak beda dengan wajib militer atau sama dengan militersime terhadap warga sipil.

Jika ada pejabat yang mengatakan bela negara itu sebagai upaya untuk mendisiplinkan bangsa Indonesia atau bahkan bagian dari revolusi mental rakyat di negeri ini, model pelatihan dan dilatih oleh militer bukanlah sebuah jaminan keberhasilan. Militerisme secara harfiah adalah paham yang berdasarkan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan; pemerintahan yang dikuasai oleh golongan militer; pemerintah yang mengatur negara secara militer (keras, disiplin, dam sebagainya).

Nah, jika salah satu tujuannya adalah seperti itu maka terjadi kemunduran luar biasa dalam berbangsa dan bernegara kita sebagaimana disampaikan Samuel P. Huntington bahwa era domokrasi modern adalah era ketika kontrol sipil atas militer dalam makna proporsional telah sungguh-sungguh dijalankan.

Lantas, untuk siapa pelatihan itu dilakukan? Saya kira semua rakyat Indonesia sepakat membela negara, cinta tanah air, adalah kewajiban seluruh warga bangsa. Bela negara menurut UU No. 3/2002 adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Pembelaan negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara. Ini sesuai dengan isi Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 (hasil amendemen): Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya  pembelaan negara.

Makna yang terkandung dari pasal itu adalah setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara serta wajib ikut serta dalam membela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang, tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain.

Cara lain itu seperti ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar, ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri, belajar dengan, selalu menaati dan melaksanakan peraturan, dan perilaku terpuji lainnya yang bersifat membangun kualitas diri dan peradaban bangsa.

Jika yang dimaksud bela negara seperti yang tercantum di atas, program Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu merekrut kader bela negara dengan target 100 juta personel dalam 10 tahun ke depan adalah tidak realistis.

Umpamakan saja jika dalam kurun waktu lima tahun ke depan dilatih 50 juta orang dengan anggaran pelatihan Rp10 juta per orang, berarti dibutuhkan anggaran sekitar Rp500 triliun. Sungguh ini nilai yang sangat besar.



Di negeri ini masih begitu banyak masalah yang kompleks dan harus dihadapi pemerintah. Pemerintah harus menyejahterakan rakyat, pemeirntah harus menyelenggarakan pendidikan murah dan berkualitas, pemerintah harus menjamin penegakan hukum, pemeirntah harus meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemeirntah harus mengurangi angka pengangguran, dan lain-lain.

Itulah prioritas yang harus dilaksanakan. Ihwal bela negara? Tak perlu khawatir. Rakyat kebanyakan di negeri ini sungguh sangat paham dan mencintai negeri ini. Entah kalau para koruptor, para pejabat yang hanya mementingkan kelompok dan dirinya sendiri itu. Jadi, untuk apa dan untuk siapa bela negera itu sebaiknya diterapkan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya