SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (21/3/2016), ditulis wartawan Solopos Mulyanto Utomo.

Solopos.com, SOLO — Suatu ketika pernah terlintas dalam benak saya, betapa membosankan, menjemukan, dan betapa sepinya jika saja dalam kondisi saya yang lumpuh tidak ada Internet.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Bisa jadi sepanjang hari saya hanya berbaring di tempat tidur dengan hiburan televisi, membaca koran, buku, dan media konvensional lain yang cenderung monoton.

Beruntunglah sejak saya ”resmi” menjadi seorang paraplegia delapan tahun lalu, hampir bersamaan itu pula era cybermedia berkembang sangat pesat. Media sosial semakin mengukuhkan eksistensinya. Aplikasi media sosial jumlahnya terus bertambah, Facebook, Myspace, Twitter, Path, Instagram, dan seterusnya.

Ekspedisi Mudik 2024

Munculnya media sosial berbasis online membuat saya dan tentu pengguna lainnya bisa dengan mudah berinteraksi, berpartisipasi, berbagi informasi, sharing pengalaman, pengetahuan, saling terhubung antara orang yang satu dengan yang lain tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Sungguh, teknologi informasi telah mengubah kesepian dan kesunyian menjadi menggairahkan, penuh dengan hiburan, sarat interaksi, bahkan banjir informasi. Pada satu sisi tentu lahirnya media baru (new media) ini memberi dampak positif bagi relasi masyarakat secara global.

Akan tetapi, di sisi lainnya, dampak negatif yang ditimbulkannya juga tak kalah sedikit. Jika para pengguna tidak dengan bijak memanfaatkan media sosial ini, akibat buruk media sosial tak terhindarkan.

Dampak negatif ini oleh sejumlah pakar malah disebut bisa menciptakan budaya buruk, perilaku menyimpang, bertindak amoral, dan bahkan menjadikan seseorang antisosial.

Dengan berinteraksi di dunia maya secara berlebihan, lebih dominan daripada bersosialisasi di dunia nyata, sangat mungkin menjadikan seseorang menjadi antisosial alias asosial.

Sikap seperti itu tentu saja berbahaya. Lebih celaka lagi, karena menggap kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam media sosial itu adalah hak setiap orang, tanpa mempertimbangkan bahwa di sana ada tanggung jawab, pasti menimbulkan perpecahan.

Awalnya mungkin hanya berbeda pendapat atas suatu keyakinan, namun kemudian berkembang menjadi saling ejek, membodoh-bodohkan pihak lain, menghinda, dan akhirnya berubah menjadi permusuhan di antara dua pihak yang akhirnya meluas.

Pengguna media sosial terkadang lupa bahwa media tersebut bukanlah media yang bersifat privasi. Apa yang disebarluaskan, diinformasikan ke media sosial, bisa dilihat orang lain maupun orang yang ada dalam daftar pertemanan sehingga pesan itu terus berkembang, meluas, tanpa bisa dibendung.

Kalau saja pesan yang diunggah dan kemudian disebarkan itu adalah hal yang baik, tentu tidak menjadi masalah. Akan tetapi, jika pesan yang disampaikan itu adalah sesuatu yang belum tentu benar, salah, atau bahkan fitnah, pasti akan menimbulkan masalah.

Celakanya, banyak di antara mereka yang mengirimkan pesan salah atau membesar-besarkan masalah bahkan memancing-mancing permusuhan serta memantik perpecahan itu tidak merasa bersalah.

Sikap seperti itu kemudian tidak hanya dilakukan satu dua orang, namun seolah-olah sudah berubah menjadi perilaku di media sosial. Merasa bersalah akhirnya menjadi budaya nihil di media sosial.

Jika saja banyak pengguna media sosial bijak, gentleman, siap secara terbuka mengakui kekeliruannya dan merasa bersalah setelah mengunggah informasi yang salah atau bahkan fitnah, dunia maya bisa jadi akan sedikit lebih sejuk.

Sayangnya budaya merasa bersalah ini belum berkembang secara baik, bahkan kecenderungan yang terjadi adalah sebaliknya: merasa bersalah seolah-olah budaya nihil di media sosial.

Master Psikologi Forensik pertama di Indonesia yang juga dosen Psikologi Forensik di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Reza Indragiri Amriel, dalam salah satu tulisannya di sebuah media massa menjelaskan secara umum perasaan bersalah itu sesungguhnya baik. [Baca selanjutnya: Sarafnya Terbalik]Sarafnya Terbalik

Seorang yang merasa bersalah berarti dia sadar telah merugikan pihak lain dan tindakannya itu telah mencederai standar atau citra dirinya sendiri. Perasaan ini, menurut Reza, membantu si empunya hati untuk berempati, bertanggung jawab, bahkan berupaya melakukan koreksi. Perasaaan bersalah mencerminkan kesehatan psikis.

Sayangnya, seseorang yang melakukan kesalahan di media sosial ketika dikritik atau sekadar diingatkan banyak yang bersikap sebaliknya, reaksioner. Mereka justru merasa dipermalukan, merasa dibodoh-bodohkan.

Nah, ini bedanya. Kata Reza, perasaan dipermalukan tentu saja memiliki dinamika yang sangat berbeda dengan merasa bersalah. Walaupun seseorang telah memancing atau memunculkan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi pihak lain, namun ia tidak menganggap itu sebagai bentuk pelanggaran terhadap standar dirinya sendiri.

Perasaan dipermalukan bersifat destruktif. Masih kata Reza, orang yang merasa bersalah memiliki keinsafan bahwa ia telah mengganggu pihak lain. Orang yang merasa dipermalukan justru menilai dirinya telah diganggu pihak lain.

Perasaan bersalah membuat individu risau oleh dampak perbuatannya terhadap pihak lain, sedangkan perasaan dipermalukan justru membuat individu lebih hirau pada dampak perlakuan orang lain terhadap dirinya sendiri.

”Ketika diteror oleh perasaan dipermalukan, individu tersebut akan meminta pihak ’pengganggu’ untuk bertanggung jawab. Ia tidak memperbaiki kualitas hubungannya dengan orang lain, melainkan merusak relasi lebih jauh lagi,” papar reza.



Dia mengutip ilmuwan psikologi ternama, Marc Beckoff, yang menyatakan individu yang tidak memiliki perasaan bersalah boleh jadi mengalami anomali saraf, alias sarafnya terbalik.

Pada diri hewan mamalia (manusia juga termasuk mamalia), yang basis sarafnya sama, saja memiliki perasaan bersalah itu. Jadi, alangkah bijak jika sejak sekarang setiap individu pengguna media sosial dengan keragaman platform yang ada itu senantiasa berhati-hati dalam menyebarkan informasi.

Gara-gara informasi, bisa saja Anda masuk penjara. Hal demikian ini tak hanya sacara psikologis bisa mengganggu diri Anda sendiri, tetapi juga bisa pula mengganggu harmonisasi hubungan masyarakat secara luas.

Bijaklah memanfaatkan informasi. Pandai-pandailah memisahkan dan mengetahui secara persis apakah informasi yang Anda unggah atau bagikan itu berita, fakta, prasangka, gosip, atau bahkan fitnah. Jangan asal membagikannya ke dunia maya.

Pastikan bahwa informasi yang hendak Anda bagikan itu adalah fakta yang benar. Kalau benar, pertimbangkan lagi, apa dampak ketika informasi itu Anda bagikan lewat media sosial? Bermanfaat atau malah memicu permusuhan, mengadu domba, dan sebagainya.

Benarlah apa yang pernah disabdakan Nabi Muhammad SAW bahwa keselamatan seseorang tergantung kepada lisannya. Di zaman media sosial seperti ini, lisan juga berarti apa yang diungkapkan dan disampaikan lewat jari-jari saat mengetik di papan ketik komputer atau gadget.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya