SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (27/7/2015), ditulis jurnalis Solopos Ichwan Prasetyo.

Solopos.com, SOLO — Jurnalisme era kini harus memberdayakan desa. Ini wujud tanggung jawab jurnalisme terhadap pemberdayaan dan pembangunan desa berdasarkan UU No. 6/2014 tentang Desa atau UU Desa.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Esai singkat ini membedah sekilas kaitan jurnalisme, pemberdayaan desa, dan realitas formal desa era sekarang. Pemberlakuan UU No. 6/2014 tentang Desa memberikan harapan bagi warga desa untuk lebih sejahtera.

Desa tak lagi sekadar satuan pemerintahan terkecil di negeri ini. Desa mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada satuan pemerintahan di atasnya, yaitu kecamatan atau kabupaten/kota, dalam hal pendanaan pembangunan.

Ekspedisi Mudik 2024

Pasal 18 UU Desa menjelaskan kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.

Pasal 19 UU Desa menjelaskan kewenangan itu berdasarkan hak asal usul, lokal berskala desa, yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota, dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Desa kini seperti menerima otonomi yang sebesar-besarnya. Secara historis UU Desa menjadi semacam pengembalian kesejatian desa karena pada era dulu cukup banyak desa yang benar-benar mandiri, misalnya desa yang berstatus perdikan.

UU Desa yang memberikan wewenang dan pendanaan cukup besar bisa dimaknai sebagai pengubahan otonomi dari level kabupaten/kota ke level desa. Desa memiliki wewenang sangat besar mengatur dirinya sendiri.

UU ini mengatur secara jelas kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan tentang masyarakat desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa, dan pembangunan kawasan perdesaan.

Sesuai ketentuan dalam UU Desa, setiap desa di negeri ini akan mendapat kucuran dana yang jauh lebih banyak dibandingkan yang diterima selama ini, yakni sebelum desa mendapatkan otonomi yang luas dan kian berdaya menentukan nasih sendiri berdasar UU ini. [Baca: Media Lokal]

 

Media Lokal
Realitas formal demikian ini harus disikapi jurnalis, jurnalisme, dan media massa, terutama media massa lokal. Frasa ”media massa lokal” menjadi penting karena entitas media yang hidup di ranah lokal dan dikelola jurnalis-jurnalis berkompetensi tinggi dan benar-benar profesional punya kaitan erat dengan eksistensi entitas-entitas lokal, di antaranya desa, masyarakat desa, dan pemerintah desa.

Faktual memang ada dikotomi media lokal dan media nasional. Pembedaannya berdasarkan alasan sangat teknis: konteks ruang dan waktu media itu ada, persebaran atau jangkauan media itu, dan pasar iklan yang menghidupi media itu.

Harian Solopos adalah media lokal sedangkan Harian Bisnis Indonesia adalah media nasional. Begitu ilustrasi yang paling gampang. Tentu tetap ada toleransi terhadap jargon dan cita-cita media lokal yang menasional.

Saya tak hendak membahas penggolongan “kelas media”. Saya hanya hendak menekankan yang disebut media lokal, seperti Solopos, punya tanggung jawab lebih besar untuk berperan aktif dalam pemberdayaan desa seturut pemberlakuan UU Desa.

Media lokal punya aspek kedekatan yang spesial dengan audiens lokal tempat media itu berada dan beraktivitas. Solopos yang berada dan hadir di satu kota dan enam kabupaten di kawasan Soloraya punya kedekatan spesial dengan seluruh pemangku kepentingan di wilayah itu, sampai ke tingkat entitas terbawah.

Apa langkah pemberdayaan desa yang harus dilakukan media massa, terutama media lokal? Kredonya jelas: 10 elemen jurnalisme (yang dirumuskan Bill Kovack dan Tom Rosenstiel) dan kode etik jurnalistik.

Di antara 10 elemen jurnalisme itu, kredo jurnalisme harus menjadi pemantau kekuasaan sangat relevan dengan aras pemberdayaan desa. Desa kini menerima dana yang cukup besar. Bayangkan bila nanti per desa menerima Rp1 miliar-Rp1,4 miliar. Kekuasaan pengelolaan keuangan desa sangat besar. Ini butuh pemantau.

Realitas masyarakat desa, bisa jadi, di sebagian besar desa di negeri ini, belum punya kemampuan ”memantau kekuasaan pemerintah desa”. Media lokal yang berintegritas dan dikelola jurnalis-jurnalis profesional harus mengambil peran di sini: awasi pembelanjaan dana desa.

Kredo lain dari jurnalisme yang terkait erat dengan pemberdayaan desa adalah jurnalisme sebagai forum publik. Forum ini tercipta dari laporan (berita langsung, feature, maupun laporan investigasi), surat dari pembaca, talkshow, kolom, opini. Tema-tema tentang desa, perdesaan, masyarakat desa, pembangunan desa, harus menjadi prioritas.

Kredo berikutnya dari 10 elemen jurnalisme adalah jurnalisme harus memikat dan relevan. Aktualisasi kredo ini dalam jurnalisme pemberdayaan desa butuh ”kecerdasan jurnalis”. Jurnalis harus mampu mengidentifikasi ”tema-tema” di perdesaan yang harus ”dikemas” menjadi menarik dan memikat. [Baca: Integritas dan Kemampuan]

 

Integritas dan Kemampuan
Jurnalis harus menguasai filosofi pemberdayaan desa dalam konteks pemberlakuan UU Desa. Jurnalis harus menguasai teknik jurnalisme memberdayakan desa. Bekalnya adalah integritas dan kemampuan teknik serta nonteknik.

Boleh jadi semua jurnalis menguasai teknik jurnalisme. Sesuai kredo jurnalisme, pemberdayaan desa mencakup kritik, pemantauan, pengawasan, apresiasi, dan sekaligus dukungan. Berita era kini bukan hanya bad news is good news, tetapi good news is (also) good news.



Saya memaknai jurnalisme memberdayakan desa sebagai jurnalisme berbasis realitas, fakta, dan narasumber di desa. Ini mensyaratkan kuatnya jaringan (narasumber dan penguasaan isu) di tingkat desa.

Jurnalis era sekarang—menurut pemahaman dan pemaknaan saya—mayoritas adalah jurnalis ”elite”. Mereka—mayoritas jurnalis itu—hanya punya jaringan di level elite dan lemah di tingkat akar rumut. Jurnalisme pemberdayaan desa meniscayakan jurnalis punya jaringan tokoh-tokoh formal dan nonformal hingga level terbawah.

Jurnalis berjaringan elite ini bisa dilihat dari karya jurnalisme mereka yang didominasi omongan pejabat, omongan tokoh terkenal, dan lemah dalam menghimpun dan menyajikan data serta kering dari detail fakta.

Kredo jurnalisme memberdayakan desa mensyaratkan jurnalis harus memahami karakteristik tiap desa. Pemahaman ini bisa diawali dengan membekali diri dengan peta, data demografi, data geografi, data pertanian, data perdagagan, dan sebagainya yang terkait hidup dan kehidupan masyarakat desa. Ranah ini  mensyaratkan jurnalis mau (berpayah-payah) belajar.

Secara teknis, jurnalis (media lokal) punya bekal kuat dan cukup di sektor ini. Media lokal biasanya selalu memosisikan jurnalis sebagai ”penguasa daerah”. Di satu kabupaten bisa ada 2-3 jurnalis.

Jurnalis-jurnalis ”penguasa daerah” ini harus memahami hal ihwal UU Desa dan peraturan pelaksanaannya. Mereka juga harus mengidentifikasi potensi dan kendala yang dihadapi desa.

Untuk mengoptimalkan pewujudan jurnalis memberdayakan desa, harus ada “pendidikan” bagi jurnalis untuk memahami filosofi UU Desa dan mampu mengimplementasikan dalam praksis jurnalisme berbasis desa. Pendidikan ini jadi kewajiban perusahaan media.

Pendidikan ini juga bisa dilakukan secara mandiri (autodidak), dengan catatan pendidikan secara mandiri hanya bisa diharapkan terwujud dari jurnalis-jurnalis progresif yang memang punya watak giat belajar, sementara mayoritas jurnalis kita—menurut pemahaman dan pemaknaan saya–hanya level “pekerja” sesuai target minimal.

Jurnalisme memberdayakan desa, dalam pemaknaan saya, menjadi jalan bagi jurnalisme (terutama jurnalisme media lokal) untuk reposisi demi mengaktualisasikan good news is good news, tentu tanpa meninggalkan ”fakta” bad news is good news.

Reposisi juga akan teraktualisasikan dalam kredo ini karena jurnalis dan media secara sengaja mendekatkan diri ke level masyarakat terbawah (di lingkup perdesaan).

Dalam perhitungan ekonomis, jurnalisme memberdayakan desa adalah langkah menguatkan eksistensi perusahaan media karena akan dikenal hingga tingkat akar rumput, memperluas pasar (bukankah selama ini perdesaan tak pernah dianggap sebagai pasar potensial bagi media massa?), sekaligus menjalankan misi ”suci” mendidik masyarakat.

Ketika jurnalis dan media mendekat kepada audiens—aktualisasi fungsi media dan kredo jurnalisme—itu berarti menguatkan eksistensi entitas lembaga jurnalisme itu. Solopos—dan media lokal lainnya—harus segera mengaplikasikan jurnalisme demikian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya