SOLOPOS.COM - Tri Rahayu (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Rabu (23/3/2016), ditulis jurnalis Solopos Tri Rahayu.

Solopos.com, SOLO — Hiruk-pikuk panen padi di Soloraya menjadi sorotan para pengambil kebijakan di level nasional dan Jawa Tengah. Produksi gabah di Soloraya berkontribusi pada ketahanan pangan di Jawa Tengah yang merupakan wilayah lumbung pangan nasional.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kabupaten Sragen menjadi penyangga pangan terbesar kedua di Jawa Tengah. Fakta itu yang menjadi pertimbangan kalangan pejabat datang dan melihat kondisi riil di lapangan.

Intensitas hujan yang tinggi berdampak pada anjloknya harga gabah hingga di bawah harga pembelian pemerintah (HPP). Ketika intensitas hujan rendah maka harga gabah cenderung naik sampai di atas HPP.

Alam menjadi salah satu penentu fluktuasi harga gabah karena nilai gabah didasarkan pada kadar air dan kadar hampa. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menentukan HPP gabah dengan persyaratan kadar air 25% dan kadar hampa 10%.

Ketentuan HPP tersebut ditetapkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 5/2015 yang menjadi acuan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) dalam membeli gabah petani dengan nilai Rp3.700/kg gabah kering panen (GKP).

Inpres tersebut masih berlaku hingga 2016 karena Presiden Jokowi tak mengeluarkan inpres lagi sebagai revisi atas HPP GKP. Fuktuasi harga gabah yang tidak menentu itu membuat Perum Bulog kesulitan menyerap gabah petani.

Ketika harga GKP turun menjadi Rp3.200/kg di tingkat petani, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman berteriak kepada Perum Bulog agar segera menyerap gabah petani dan jangan biarkan petani menjerit. Ketika harga GKP melejit hingga Rp3.800/kg-3.900/kg, Amran hanya tersenyum, padahal Perum Bulog menjerit karena tidak bisa membeli GKP dari petani.

Presiden Jokowi mempertanyakan kinerja Perum Bulog dalam kunjungannya ke Triyagan, Karanganyar, karena penyerapan gabah oleh gudang Bulog di Triyagan sangat minim. Sikap Presiden Jokowi membuat Menteri Pertanian menggulirkan program penyerapan gabah (sergab).

Program ini didukung alokasi anggaran Rp20 triliun ke Perum Bulog. Ironisnya, penyuluh pertanian lapangan (PPL) “dipaksa” menjadi agen Bulog untuk membeli gabah petani sebanyak-banyaknya dengan janji pengangkatan menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau reward lainnya.

“Pemaksaan” PPL untuk menjadi agen Bulog oleh Menteri Pertanian tak berjalan mulus. Di Sragen, luas lahan bertanaman padi siap panen mencapai 44.000 hektare atau setara dengan produksi gabah 264.000 ton sepanjang Februari-Maret.

Kini, lahan padi di Sragen telah habis dipanen. Gudang Bulog Masaran belum menyerap gabah petani. Pembelian gabah dari Sragen hanya 10 ton di wilayah Kecamatan Sambungmacan dan 2,1 ton saat Menteri Pertanian berkunjung ke Desa Sidodadi, Kecamatan Masaran.

Cita-cita mewujudkan ketahanan pangan menghadapi jalan buntu. Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Sragen, Suratno, berulang kali menyerukan kepada pemerintah agar menaikan HPP GKP sampai Rp4.200/kg. Seruan itu tak pernah didengar pemerintah.

Menteri Pertanian mendengar langsung seruan petani Sragen yang menginginkan harga GKP Rp4.000/kg. Teriakan petani itu hanya seperti angin berlalu, padahal naiknya HPP menjadi salah solusi untuk mengatasi karut-marut penyarapan gabah oleh Bulog yang berimplikasi langsung pada cita-cita ketahanan pangan.

Pemerintah justru menuding fuktuasi harga gabah itu dipermainkan tengkulak atau sekelompok petani spekulan. Benang kusut masalah gabah belum bisa terurai. KTNA menduga ada indikasi kesengajaan menciptakan benang kusut agar pemerintah bisa mengimpor beras.

Ketahanan pangan menjadi alasan pemerintah untuk melegalkan impor beras. Kebijakan impor pun tak akan bisa menyelesaikan cita-cita ketahanan pangan dalam negeri. Impor beras akan mencederai Nawa Cita yang mengamanatkan kedaulatan bidang pangan. [Baca selanjutnya: Kebijakan Insentif]Kebijakan Insentif

Saya pernah mengobrol dengan salah seorang pejabat Perum Bulog di tingkat Subdivisi Regional (Subdivre). Pejabat itu mengatakan tentang kebijakan insentif untuk Bulog dalam penyerapan gabah petani. Kebijakan insentif itu diberlakukan ketika harga GKP di tingkat petani melejit di atas HPP.

Lewat kebijakan insentif itu, berapa pun harga GKP di tingkat petani Bulog tetap bisa membelinya dan tidak melanggar Inpres. Di satu sisi, Bulog diringankan dan dimudahkan untuk menyerap gabah sesuai dengan target nasional.

Di sisi lainnya, petani tetap beruntung karena harga pembelian gabah mereka oleh Bulog sesuai dengan harga pasar. Kebijakan insentif tersebut akan memutus sebagian rantai perdagangan gabah yang diindikasikan dikuasai permainan tengkulak atau spekulan.

Petani akan memilih menjual GKP kepada pihak tertentu yang berani menawar dengan harga tinggi atau sesuai permintaan petani. Petani juga akan memilih pihak-pihak yang memberi pelayanan membayar tunai pada hari transaksi jual beli gabah.

Kebijakan insentif itu justru akan dimanfaatkan petani secara mayoritas karena adanya jaminan dari Bulog untuk melunasi pembayaran dalam tempo 1 x 24 jam. Ketika kondisi ini terjadi maka tengkulak atau spekulan justru akan kesulitan mencari gabah petani.

Tidak ada kata terlambat bagi pemerintah untuk menyejahterakan petani dan mewujudkan cita-cita ketahanan pangan nasional. Penyerapan gabah petani oleh Bulog paling efektif dilakukan pada musim panen I (musim penghujan) karena harga GKP menguntungkan pemerintah.

Kini, lahan pertanaman padi yang siap panen di Sragen dan daerah lainnya di Soloraya mungkin sudah habis tetapi masih banyak lahan padi di daerah lain yang siap panen. Tanaman padi di Sragen sudah habis karena pola tanamnya serentak.

Pemerintah harus berani mengambil risiko. Alokasi anggaran Rp20 triliun dari APBN akan lebih baik bila dialihkan untuk kebijakan insentif bagi Bulog khusus untuk pembelian gabah pada saat harga gabah di atas HPP.



Kebijakan PPL menjadi agen Bulog justru akan menciptakan masalah baru karena itu bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) penyuluh pertanian. Alternatif lainnya, Bulog bisa menerapkan pola bisnis seperti yang dilakukan PT Sakti Boyolali dalam memenuhi kebutuhan pangan (beras).

Swasta saja berani mengambil terobosan baru dengan bekerja sama langsung dengan petani. Perum Bulog bisa menggandeng petani langsung dalam pengadaan gabah/beras. Bulog menunjuk sejumlah petani sesuai dengan luas lahan dan potensi panen untuk diajak kerja sama.

Dengan pendampingan intensif, Bulog mengetahui sendiri kualitas gabah dan petani hanya minta ada jaminan harga tertentu agar tidak rugi. Model pendekatan tersebut justru lebih terukur bagi Bulog dalam pengadaan beras.

Dengan model begini Bulog tidak perlu pusing setiap tahun karena dibebani kewajiban memburu gabah/beras. Dengan model begini Bulog cukup mengandalkan lahan padi yang tersedia dan dikelola petani dalam kerangka kerja sama Bulog dan petani. Semua sama-sama senang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya