SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (16/3/2016), ditulis Ketua Dewan Redaksi Harian Solopos Ahmad Djauhar.

Solopos.com, SOLO — Beberapa waktu silam, masyarakat kembali dihebohkan dengan kehadiran program MMM yang bila dipanjangkan menjadi manusia membantu manusia. Di tingkat global, MMM dipanjangkan sebagai mavrodi modial moneybox.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tidak sedikit yang memelesetkannya sebagai manusia merugikan manusia. Praktik MMM ini sebenarnya tidak lebih dari arisan berantai atau call money. Model permainan ini adalah siapa yang lebih dulu ikut bermain dia yang diuntungkan karena dengan jumlah downline yang semakin banyak dan meluas berarti akan menciptakan aliran uang ke atas.

Demikian seterusnya sehingga lapisan terbawah yang dicoba untuk terus dibangun itulah yang akan menjadi ”korban” baru permainan uang ini. Strukturnya lama-kelamaan berbentuk piramida maka disebutlah sebagai Piramida Ponzi, mengikuti Charles Ponzi yang menciptakan sistem tersebut.

MMM yang berkembang saat ini merupakan perusahaan yang didirikan pada 1989 oleh tiga serangkai dari Rusia, Olga Melnikova, Vyacheslav Mavrodi, dan Sergey Mavrodi. Pola yang mereka pakai adalah ”tindakan mulia”, yakni saling membantu antarmanusia. Pada intinya adalah memutar dana masyarakat dengan skema Ponzi.

Setahun setelah megawali kegiatan operasionalnya, pada 1990, sekitar 40 juta orang anggota terangkum dalam program tersebut dan mereka diperkirakan menyerahkan ”dana bantuan” sekitar US$10 miliar. Skema perekrutan anggota cukup mudah dan terbuka, terlebih pada masa merebaknya penyebaran informasi berbasis teknologi seperti sekarang.

Kini sangat mudah menciptakan daya tarik yang membuat bergitu banyak orang kepincut untuk terlibat karena adanya iming-iming bahwa mereka yang terlibat ”membantu” sesamanya akan memperoleh kemudahan untuk ”dibantu” pula, plus dijanjikan imbal hasil 30% atau bahkan higga 100%.

Walhasil banyak orang yang kemudian terhanyut bujuk rayu gombal yang diselenggarakan oleh OTB alias organisasi tanpa bentuk ini karena desain awal dari sananya memang sudah demikian. Tak lupa, mereka juga menyertakan testimoni dari beberapa pemain yang beruntung memperoleh cipratan return.

Return itu biasanya tidak seberapa dibandingkan dengan dana yang sudah mereka keluarkan itu sambil diserta ucapan terima kasih yang seakan-akan tulus kepada Sergey Mavrodi, pencipta permainan tersebut, yang kalau saja mereka mengenalnya pasti tidak akan keluar kata-kata pujian itu.

Boleh dibilang Indonesia menjadi ladang yang sangat subur untuk menumbuhkembangkan ide-ide penipuan uang berkedok bantuan atau investasi semacam itu. Entah sudah berapa puluh kali terbongkar aneka permainan uang yang telah merugikan jutaan warga masyarakat dengan nilai kerugian mencapai ratusan triliun rupiah itu.

Tiap kali modus semacam ini terbongkar, masyarakat bukannya kapok, justru tampak semakin penasaran untuk melibatkan diri. Kita tentu belum lupa kasus investasi bodong pada 2002 oleh PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) yang ”berhasil” menghimpun dana dari 6.800 investor perorangan maupun lembaga, dengan satuan nilai setoran dana Rp25 juta, sehingga total mencapai sekitar Rp480 miliar (hampir setara dengan 4,8 ton emas ketika itu).

Kepada pemilik dana tersebut dijanjikan iming-iming return 60% per tahun dengan bidang usaha agrobisnis. Lalu terjadi lagi heboh Gamasmart yang melibatkan sekitar 15.000 investor yang menjanjikan bunga investasi hingga 220% per tahun.

Kasus yang meletup pada2006-2008 itu berhasil mengeruka dana masyarakat sekitar Rp1,6 triliun yang dirupakan dalam betuk 40.000 sertifikat investasi senilai masing-masing Rp40 juta. Contoh lain yang juga beraroma tepu-tepu adalah Wahana Bersama Globalindo.

PT Wahana Bersama Globalindo (WBG) mengaku sebagai agen produk investasi Dressel Investment Ltd. Perusahaan ini menawarkan dua produk reksadana dengan imbal hasil 24% per tahun (dibayarkan 2% per bulan) dengan setoran minimum US$5.000 dan 28% per tahun (dibayarkan 7% per tiga bulan) dengan setoran minimum US$10.000.

Mulai 2006, aliran imbal hasil dari WBG macet dan dana investasi senilai Rp3,5 triliun dari 10.000-an investornya tak bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian ada pula PT Probest International yang pada 2002 terpaksa mengakhiri permainan setelah sempat merekrut 70.000-an anggota dengan menggalang dana investasi tidak kurang dari Rp20 triliun. [Baca selanjutnya: Mobilisasi Dana]Mobilisasi Dana

Kalau dirunut masih banyak lagi kasus yang melibatkan mobilisasi dana masyarakat dan lagi-lagi korbannya dibuat tidak berkutik. Toh, walau begitu, masyarakat seola-olah tidak kapok dikadali dengan format permainan uang yang polanya nyaris tidak berbeda jauh itu.

Intinya, masyarakat—khususnya pemilik dana dalam jumlah tidak kecil—selalu tergiur pada iming-iming memperoleh hasil besar dalam waktu singkat tanpa repot. Mereka seakan lupa ada pepatah yang berbunyi high-risk high-return. Begitu dana hilang, barulah mereka meradang, menyalahkan pihak sana dan pihak sini.

Ketika mengambil keputusan untuk menginvestasikan dana akibat iming-iming pihak yang tidak jelas itu, mereka melakukannya dengan diam-diam. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebenarnya sudah mencium gelagat ini, namun upaya pembuktian di lapangan tidaklah semudah dugaan orang.

Terbukti ketika OJK menutup website yang mempromosikan kegiatan perekrutan dana MMM itu malah menuai kecaman dari para ”umat” Mavrodian tersebut belum lama ini. Rupa-rupanya, kubu MMM yang sudah menikmati posisi sebagai upline tidak ingin kehilangan posisi nyaman mereka.

Melalui Forum Komunitas Mavrodian Indonesia (FKMI), MMM justru menuding pemerintah memberangus kebebasan berkomunitas kelompok  tersebut. Kalau sudah demikian halnya, kondisinya menjadi status quo.

Maksud pemerintah melindungi calon korban baru bisa-bisa mentah akibat ulah kelompok yang merasa sudah kepalang basah pernah rugi besar, misalnya, sehingga mereka memerlukan layer baru untuk menjadi korban. Apalagi lembaga yang bertanggung jawab penuh untuk memberikan perlindungan seperti itu juga tidak jelas.

Untuk kasus paling mutakhir, Cipaganti, OJK mengaku tidak bisa turun tangan karena itu dianggap domain Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop & UKM). Sementara Kemenkop & UKM mengklaim itu merupakan aktivitas mendulang dana masyarakat, berarti menjadi tanggung jawab OJK. Pusing kan?

Yang paling aman tentu saja menyadarkan masyarakat agar jangan mudah tergiur iming-iming investasi dengan hasil besar dan mudah. Praktik seperti itu tidak wajar di dunia nyata, hanya ada di dunia utopia.

Cukup banyak instrumen investasi yang masih dapat dimanfaatkan, termasuk di antaranya adalah obligasi Republik Indonesia dan sukuk ritel yang yield-nya memang tidak sebesar iming-iming berbagai lembaga bodong tadi, tapi uang Anda relaitf aman. Pilih mana?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya