SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom edisi Senin (21/12/2015), ditulis wartawan Solopos Mulyanto Utomo.

Solopos.com, SOLO — Tinggal menghitung hari tahun 2016 segera kita masuki. Harapan masa depan yang lebih baik, lebih cerah, lebih mudah, lebih menyenangkan dalam segala bidang tentu menjadi angan-angan setiap orang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Harapan itu juga terpancar dari suasana di warung hik News Café tempat Raden Mas Suloyo, Mas Wartonegoro, saya, dan kawan-kawan sekampung jagongan sembari nyruput wedang kekinian JKJ, jeruk-kencur-jahe, yang bikin kemepyar.

Dibutuhkan energi segar untuk menyambut tahun baru setelah hampir sepanjang 2015 negeri ini penuh dengan ingar-bingar, gaduh, disertai situasi politik dan ekonomi yang belum membaik.

Perasaan pesimisme masih terasa kental menyelimuti sebagian rakyat negeri ini atas perjalanan bangsa Indonesia pada 2016 mendatang. Rupiah yang masih lemah terhadap dolar Amerika Serikat (US$), kasus ”papa minta saham” yang menimbulkan hiruk-pikuk di lembaga tertinggi negara dengan segala intrik masa depan PT Freeport Indonesia, dan terpilihnya para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diragukan kapasitas dan kredebilitasnya adalah sebagian dari persoalan-persoalan yang menjadi pertaruhan besar bangsa ini untuk dituntaskan tahun depan.

”Semoga tahun depan tidak seperti tahun 2015 yang penuh dengan kesulitan dan kegaduhan ya, Denmas,” kata Mas Wartonegoro kepada karibnya, Raden Mas Suloyo.

Yang diajak bicara manthuk-manthuk sembari meniup wedang JKJ-nya yang panas kemebul. ”Ya kita semua berharap begitu, tetapi kalau melihat berbagai peristiwa tahun ini, dan ini juga menurut analisis banyak pengamat, tampaknya tahun depan masih akan suram,” kata Mas Wartonegoro.

”Pesan Pak Presiden, kita tidak boleh pesimis. Kita harus senantiasa optimis. Yang diperlukan saat ini semua pihak harus cancut tali wanda. Semua orang wajib bekerja secara bersungguh-sungguh untuk kepentingan bangsa dan negara. Moto kerja… kerja… kerja… jangan sekadar slogan. Kalau kita perhatikan berbagai peristiwa yang lalu, masih begitu banyak pejabat kita yang ngisruh, kerjanya terlihat hanya demi kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya,” ujar Denmas Suloyo.

”Iya, betul sampeyan. Saya mencatat sejumlah menteri bekerja dan berjalan sendiri-sendiri, tumpang tindih, kurang koordinasi, dan celakanya ada yang tidak sejalan dengan Presiden dan Wakil Presiden. Setali tiga uang, anggota DPR yang katanya wakil rakyat malah banyak yang menjadi pengkhianat rakyat,” kata Mas Wartonegoro tak mau kalah. [Baca selanjutnya: Serigala dan Hiu]

Serigala dan Hiu

Begitulah. Ketika masyarakat bawah ngrasani para pemimpin mereka maka kritikan tajam hingga sumpah serapah sering meluncur sesuka hati. Bisa jadi itu bagian dari rasa jengah atau bahkan ungkapan sakit hati kepada mereka yang tidak amanah, abai terhadap kebutuhan masyarakat, lupa atas komitmen mereka ketika hendak dipilih rakyat.

Tidak ada pilihan lain selain ketegasan tingkat tinggi dari pemimpin tertinggi negeri ini untuk menyelesaikan segala permasalahan yang muncul. Dibutuhkan keberanian luar biasa untuk menegakkan cita-cita bangsa yang digerogoti para mafia di berbagai bidang usaha.

Sinyalemen politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari pada akhir bulan lalu yang menyebut sekarang ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang berjalan bersama serigala dan berenang bersama hiu sehingga sulit menjalankan program Nawa Cita adalah peringatan sekaligus tantangan untuk membuktikan semua itu bisa disingkirkan.

Berjalan bersama serigala dan berenang bersama hiu yang digambarkan Eva itu sesungguhnya sebuah idiom yang mengerikan. Serigala dan hiu adalah dua binatang yang sangat buas dan ganas. Ada peribahasa ”serigala berbulu domba” yang merupakan perumpamaan seorang jahat yang berpura-pura sebagai orang baik.

Ini tentu berbahaya jika tidak disikapi dengan tegas. Mereka bisa menjadi musuh dalam selimut yang menusuk dari belakang. Saat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden setahun lalu, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla merancang sembilan agenda prioritas yang mereka sebut Nawa Cita.

Program ini digagas sebagai prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Secara terprinci sembilan program prioritas untuk mengubah percepatan pembangunan negeri ini dibeberkan.

Di antaranya adalah menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Satu hal yang perlu juga digarisbawahi dari Nawa Cita adalah soal pemberantasan korupsi yang kini sedang menjadi isu hangat setelah lima orang pimpinan baru KPK terpilih.

Dalam Nawa Cita tegas tercantum pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Terpilihnya lima pimpinan baru KPK akhir pekan lalu menuai kritik dari banyak kalangan.

Mereka menilai DPR ingin KPK menjadi ”anak penurut”. Dalam voting di Komisi III, terpilih lima pimpinan baru KPK, yaitu Alexander Marwata, Saut Situmorang, Basaria Panjaitan, Agus Sujanarko, dan Laode M. Syarif. DPR menurut sejumlah pengamat telah berhasil menjalankan skenario mengisi KPK dengan orang-orang yang diduga untuk menumpulkan taring KPK.

”Yang paling menyedihkan, KPK yang seharusnya membenahi institusi penegak hukum yang dianggap korup, saat ini diisi orang-orang yang berasal dari institusi yang bermasalah itu,” kata pengamat hukum dari Universitas Andalas Feri Amsari.

Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla memang meminta masyarakat tidak buru-buru mengkritik lima pimpinan baru KPK itu. Biarkan mereka membuktikan diri sebagai panglima pemberantasan korupsi. Mereka wajib menjawab keraguan publik dengan aksi nyata.

Jokowi menyatakan pemerintah akan memperkuat KPK sehingga perlu dukungan berbagai pihak. Menurut Jokowi, lima pimpinan baru KPK terpilih melalui tahap seleksi lewat panitia seleksi (pansel) independen hingga menjalani uji kelayakan dan kompetensi di DPR.

Semoga keraguan rakyat bisa segera terjawab dan pernyataan pemerintah untuk memperkuat KPK bukan sekadar wacana. Publik telah berpendapat sejak dikriminalkannya Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil ketua Bambang Widjojanto, upaya pelemahan itu nyata adanya.

Jangan sampai apa yang telah dikatakan nanti berbeda dengan kenyataan atau mengutip guru saya Mursito B.M yang mengistilahkannya dengan ”simulakra politik”. Dalam salah satu tulisannya beberapa waktu silam, dosen saya itu menjelaskan ”simulakra politik” adalah ketika seorang politikus memperlihatkan tampilan yang berbeda dengan kenyataan, apa yang diucapkan berbeda dengan tindakan semestinya.



Sekalipun seorang pemimpin berjalan bersama serigala dan berenang bersama hiu, dia harus berani melawan para musuh dalam selimut dan orang-orang yang hendak menusuk dari belakang. Semua tindakannya tentu demi kemakmuran, kebahagiaan, keamanan, dan kesejahteraan rakyat yang telah memberikan amanah besar kepadanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya