SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (30/11/2015), ditulis jurnalis Solopos Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Pekan depan, tepatnya 9 Desember 2015, enam daerah di Soloraya, yakni Solo, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Boyolali, dan Klaten akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Secara keseluruhan, di seluruh Indonesia, sembilan provinsi dan 260 kabupaten/kota akan menggelar pilkada serentak.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Semakin dekat pelaksanaan pilkada mestinya rakyat semakin gembira. Sebentar lagi mereka akan menjadi raja di bilik suara. Suara mereka, meski hanya satu, mestinya adalah harga diri sejati mereka, tak terbeli, tak tersentuh, kokoh berdiri, merdeka.

Penilaian mereka terhadap para calon bupati, calon wali kota, atau calon gubernur, baik atau buruk, setuju atau tidak setuju dengan tindakan mereka selama ini, semestinya dituangkan dengan sekali tusukan di bilik suara.

Jika demikian, pilkada layak disebut sebagai pesta demokrasi. Pesta ketika hak politik rakyat berdiri merdeka. Benarkah rakyat menyambut dengan gembira? Entahlah. Sebagian mungkin sudah lelah dengan peristiwa coblosan, karena siapa pun yang menang hanyalah akan mementingkan dirinya sendiri, kelompoknya sendiri, pendukungnya sendiri, di luar itu hanya nunut ngeyup.

Sebagian mungkin sedang berharap menerima amplop serangan fajar, Rp50.000, Rp100.000 atau bahkan Rp25.000, sangat lumayan untuk menambah uang lauk-pauk barang sepekan. Sebagian mungkin sudah terbakar hatinya menunggu hari pilkada yang disebutnya sebagai hari penghakiman. Desakan ideologi di dada memosisikan pilkada baginya nyaris setara dengan ”pertempuran”.

Kata mendiang Samuel Huntington, pakar ilmu politik yang bukunya menjadi rujukan mata kuliah politik di hampir seluruh kampus di dunia, pemilihan umum (pemilu) atau pilkada bukan satu-satunya cermin demokrasi.

Sistem demokrasi tak cukup hanya dengan pemilu. Pemilu atau pilkada yang jujur, bersih, dan kompetitif hanya bisa terjadi jika rakyat bebas memilih tanpa tekanan, bebas berkumpul tanpa ketakutan, bebas mengkritik tanpa takut pembalasan, bebas menilai tanpa takut diancam.

Tanpa itu, pemilu atau pilkada hanyalah rutinitas politik atau legitimasi politik yang hampa. Sayangnya sebagian besar pilkada kita belum sampai pada level seperti itu. Para kandidat kepala daerah kebanyakan bukan orang-orang paling mumpuni di kelompoknya, tetapi orang yang paling kuat, atau suruhan orang kuat.

Para calon kepala daerah bukan orang paling bersih dan jujur di antara barisan partai pendukungnya karena jujur dan bersih masih sebatas slogan yang bisa ditempel bisa pula dilepas kapan saja, sesuai kondisi dan keadaan.

Jangan terlalu naif memakai istilah ideologi dalam pilkada. Di negeri ini, ideologi mungkin sudah mati. Jika toh ada, “pasar’-nya tak lebih dari 20%-25% dari seluruh pemilih. Buktinya, partai koalisi pendukung kandidat setiap daerah berbeda-beda.

Semua tergantung bisik-bisik di level lokal. Khusus pada pilkada kali ini, imbas keberadaan Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat setelah pemilihan presiden tahun lalu sedikit banyak masih ada bekasnya, tapi rasa-rasanya koalisi itu tidak selalu relevan di semua daerah.

Pilkada sejauh ini juga gagal menampakkan diri sebagai pertarungan politik yang menarik. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membungkus pilkada sedemikian rupa sebagai sebuah pertarungan politik yang adem ayem, jauh dari hiruk-pikuk, seolah-olah khawatir masyarakat akan gaduh oleh perbedaan pilihan. Pembatasan pemasangan gambar atau alat peraga kampanye mengebiri hak ekspresi warga, seolah-olah khawatir warga akan berkelahi hanya karena tetangganya memasang gambar calon bupati.

Debat pilkada diatur sedemikian datar, tanpa kesan. Penonton yang ingin melihat kemampuan calon kepala daerah dalam beradu argumen, berdiplomasi, beretorika, atau memaparkan konsep pembangunan kewilayahan hanya disodori retorika kaku, hampir mirip deretan teks tanpa makna. 

 

Lahan Gersang
Akhirnya panggung politik kita seperti lahan gersang yang tidak banyak melahirkan orator politik yang cerdas. Orang-orang pintar di kampus-kampus terlihat aneh dan serba rikuh dalam menilai pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Akhirnya mereka bersembunyi di menara gading, nyaris tanpa peran kecuali satu atau dua akademisi yang dimintai bantuan KPU untuk menjadi wasit debat atau konseptor debat. Kampus tak bisa memberikan panduan nilai-nilai yang bisa dipegang para pemilih.

Media hanya mencatat dan mengingatkan tentang perangai buruk para petahana, yang semena-mena menggunakan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi, seolah-olah hanya mereka calon kepala daerah terbaik untuk masyarakat daerahnya.

Media setajam apa pun itu bukan polisi atau jaksa yang bisa memeriksa atau mendakwa. Tak semua media berani melakukan itu dengan gagah perkasa.

Apa pun, selamat menikmati pilkada, meskipun pilkada yang seadanya. Semoga pilkada berjalan sukses, tertib, dan lancar. Bagi calon yang kalah, semestinya tak perlu terlalu sedih.

Kekalahan adalah risiko pertarungan yang sejak mendaftar harus siap diterima. Terimalah kekalahan sebagai layaknya orang-orang terhormat. Bagi yang menang, sebaiknya segera mencatat janji-janji kampanyenya untuk secepat-cepatnya ditunaikan.

Bagi yang menang, sebaiknya juga mulai berhati-hati. Kemenangan memang selalu indah, tetapi kemenangan bisa menjadi awal dari kehancuran.

Di depan publik, politik adalah ketika calon penguasa mencium bayi lucu atau ketika calon penguasa membeli mahal buah segar di pasar tradisional saat kampanye blusukan.

Di belakang publik, politik  bisa saja penjarahan harta negara untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kata Lord Acton, power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutelyGreat men are always bad men.



Kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk korupsi, apalagi biaya kampanye pilkada juga tidak murah. Tak ada yang abadi di dunia yang semakin tua dan politik yang sepertinya semakin kotor ini.

Bukankah sudah banyak bukti nyata, berapa banyak para bupati, wali kota, atau bahkan gubernur yang berakhir di penjara sebelum masa jabatan mereka paripurna?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya