SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar (Istimewa)

Kolom kali ini, Senin (11/1/2016), ditulis Ketua Dewan Redaksi Harian Solopos Ahmad Djauhar.

Solopos.com, SOLO — Pengiriman secara massal tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri—atau sering dibahasakan lebih keren sebagai buruh migran Indonesia (BMI)—sering menjadi persoalan dilematis dan tidak jarang politis, terutama ketika terjadi kasus, misalnya penimpaan hukuman mati bagi mereka.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Tingginya frekuensi pemancungan TKI di Arab Saudi bahkan sempat menjadi pemicu perseteruan sehingga memaksa pemerintah Indonesia menempuh moratorium (pembekuan) pengiriman TKI ke negeri Kakbah itu.

Selain dianggap tidak kooperatif,  pemerintah Arb Saudi dianggap tak terlalu melindungi hak-hak TKI, terlebih ketika
terjadi perselisihan yang bermuara pada hukum, TKI-lah yang relatif lebih sering di posisi yang kalah.

Meskipun pemerintah hingga kini secara resmi masih melarang pengiriman TKI ke Arab Saudi, sehingga kabarnya sempat membuat kelabakan sejumlah keluarga di negeri tersebut karena tidak ada yang mengurus rumah dan anak-anak, pengiriman secara informal bukannya tidak ada.

Dalihnya, konon, melalui jalur ibadah umrah dan seusai itu tidak langsung kembali ke Indonesia. Banyak lagi kasus hukuman mati yang menimpa TKI di luar negeri, yang menurut catatan Migrant Care—lembaga sosial kemasyarakatan yang peduli kepentingan BMI—mendekati angka 300 jiwa dan sering kali pemerntah tidak mampu berbuat apa pun apabila persoalannya adalah kriminal murni, misalnya pembunuhan.

Berdasarkan hukum yang dianut di negeri-negeri di Timur Tengah, apabila terbukti melakukan pembunuhan, seorang pelaku sangat sulit dibebaskan, kecuali keluarga korban memaafkannya dengan semacam denda—diyat, kompensasi—berupa uang dalam jumlah yang disepakati kedua belah pihak.

Hingga kini diperkirakan tidak kurang dari 4,5 juta-5,5 juta TKI yang menjaring nafkah di berbagai negara dan sebagian besar di antara mereka menekuni pekerjaan informal seperti pembantu rumah tangga, sopir, pramusiwi, dan buruh perkebunan.

Kontribusi para TKI ini juga tidak dapat dibilang remeh karena program remitansi (kiriman) dana hasil kerja mereka kepada keluarga di Indonesia semakin meningkat, misalnya dari Rp110 triliun pada 2014 menjadi Rp140 triliun pada 2015.

Tentu saja ini angka yang tidak dapat dianggap enteng dan efektivitasnya cukup tinggi dalam membantu masyarakat golongan ekonomi marginal karena dana tersebut langsung terkirim ke sasaran. Tidak seperti bantuan proyek pemerintah yang sering terbukti salah sasaran akibat dikorupsi para pejabat laknat itu.

Sebenarnya tidak terlalu dikhawatirkan posisi para TKI kita yang masih di kelas rendahan tersebut, mengingat ini semua merupakan proses dari pembentukan ”kekuatan” Indonesia yang lebih diperhitungkan di sektor ketenagakerjaan tingkat dunia.

Secara pelan tapi pasti, sejumlah TKI kini mulau mengisi peluang kerja yang sedikit lebih bergengsi, misalnya sebagai awak kapal pesiar maupun sebagai perawat orang jompo maupun sebagai staf penjaga toko.

Boleh dibilang TKI memang mengikuti jejak tetangga sebelah, Filipina, yang pada gelombang awal juga berprofesi sebagai pembantu rumah tangga di berbagai negara. Kini mereka boleh sedikit berbangga karena sebagian besar dari mereka mulai menduduki posisi kerja yang lebih bergengsi, misalnya kasir, waiter/pramusaji, pelayan toko, dan posisi sekelas lainnya.

Keberhasilan mereka naik kelas itu, konon, didukung kemampuan berbahasa Inggris cukup bagus—berkat dijajah Amerika Serikat, setelah Spanyol—dan pembinaan oleh pemerintah Filipina untuk meningkatkan kapasitas calon tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri.

Kita tentu ingat kuli kontrak dari Jawa pada masa penjajahan Belanda yang dikirim ke Suriname sebagai buruh perkebunan tebu selama periode 1890-1900. Rupanya kontrak kerja itu cuma sekali jalan, tidak ada klausul yang menyebutkan mereka nantinya dipulangkan kembali ke Jawa.

Berkah dari kejadian tersebut adalah taraf hidup keturunan mereka di negeri yang kini berdaulat penuh itu pun berubah, yang secara umum dikatakan lebih baik ketimbang saudara-saudara yang mereka tinggalkan di Jawa. [Baca selanjutnya: Mewarnai Dunia]Mewarnai Dunia

Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang menteri dari Suriname yang merupakan keturunan Jawa. Dia sempat merasa tersinggung ketika kepadanya saya tanyakan bagaimana status sosial warga keturunan Jawa di negeri itu.

Sang menteri mengklaim kehidupan warga keturunan Jawa di Suriname, yang sekitar 14% dari total populasi di negeri itu, sederajat dengan etnis lain dan sejulah tokoh memiliki peran strategis di pemerintahan. ”Jangan Anda bayangkan kami masih terbelakang. No way, kami relatif lebih maju,” tutur menteri tadi.

Lain lagi kisah yang terjadi di Hong Kong, salah satu wilayah padat BMI. Secara spontan, salah seorang tokoh senior asal Indonesia di wilayah otonomi khusus Tiongkok itu memberi gambaran satu dari 25-30 orang di Hong Kong adalah saudari-saudari kita, orang Indonesia.

Pada Minggu, misalnya, Hong Kong benar-benar serasa milik orang Indonesia karena umumya mudah dikenali dari busana muslimat yang mereka kenakan yang begitu dominan di berbagai pelosok kota ini.

Di Taman Victoria, di Causeway Bay, pembicaraan menggunakan bahasa Jawa yang medhok—khususnya bahasa Tawa Timur—menggema di mana-mana, hampir di setiap jengkal lahan seluas 19 hektare itu.

Di lapangan itulah, orang-orang Indonesia menunjukkan berbagai kebolehannya, dari yang main pencak silat, jathilan, reog Ponorogo, berdandan ala Pachinko atawa Manga, hingga berlatih biola dan gitar. Indonesian is the power of Hong Kong.

Fenomena penyebaran warga asal Indonesia ke berbagai negara—yang disebut sebagai diaspora—ini tentu saja membuat berbagai perubahan, sekecil apa pun, yaitu makin tersebarnya keindonesiaan di peta antarbangsa.

Mungkin dalam satu generasi mendatang, anak balita yang selama ini diasuh pramuwisma asal Indonesia akan ikut mewarnai kultur negeri mereka dengan kata, kalimat, atau bahkan budaya yang secara langsung maupun tidak disebarkan para TKI.



Kita tidak perlu malu mengakui saudara-saudari kita yang bekerja sebagai TKI ini juga diaspora Indonesia, yang turut menjadikan negeri kita lebih mendunia, kendati baru dikenal sebagai low layer worker.

Kita tentu lebih berbangga jika generasi migran worker mendatang dari Indonesia adalah para insinyur, dokter, akuntan, lawyer, dan sebagainya yang tidak hanya menaklukkan Hong Kong, melainkan berbagai negeri yang lebih maju lainnya. TKI dapat berdiri tegak sejajar dengan pekerja migran dari negara manapun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya