SOLOPOS.COM - Suwarmin (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (6/6/2016), ditulis jurnalis Solopos Suwarmin.

Solopos.com, SOLO — Waktu selalu sama, tetapi kita tak pernah sama. Begitulah suratan hidup. Demikian juga dengan Ramadan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sejak sebulan yang lalu, aura Ramadan sudah terasa. Tandanya, sudah mulai muncul iklan sirup, iklan sarung, iklan biskuit, dan lain-lain. Band-band dan grup vokal sejak jauh hari telah menyiapkan album religi.

Sebagian mereka buat sendiri, sebagian diaransemen ulang. Penyanyi asing ikut meramaikan pasar lagu agamais di negeri ini. Selalu begitu sejak dulu, sejak Sulis (penyanyi yang kemunculan awalnya bersama Hadad Alwi) masih kanak-kanak hingga dia dewasa saat ini.

Ada tradisi Ramadan yang mulai hilang, yakni orang-orang berkeliling kampung untuk membangunkan orang agar makan sahur. Dulu tradisi ini melahirkan musik khas sahur yang ngangeni. Kalau toh sekarang masih ada, tradisi itu hanya sekadar pemanis.

Pada zaman serbagadget seperti sekarang, alarm hanyalah persoalan kecil. Orang-orang zaman sekarang bisa memanfaatkan gadget untuk melakukan apa saja: janji bertemu dengan teman cukup dengan gadget sebagai panduan, searching resep menu sahur atau buka, hunting diskon toko baju dan aksesori, atau sekadar memfoto kegiatan sahur atau buka, atau menghabiskan waktu menunggu berbuka dengan chatting di berbagai grup Whatsapp.

Televisi dan rumah produksi film juga ikut meramaikan Ramadan dengan acara religi. Tak peduli acara religi itu hanya sekadar bungkus atau kemasan, yang penting ada kata-kata puasa, sahur, dan nuansa Ramadan lainnya.

Bagaimana inti pesan yang disampaikan, itu soal lain. Bagaimana kesan dari pembaca, pemirsa, atau pendengar, itu hanyalah persoalan persepsi yang sangat nisbi. Dari tahun ke tahun, para rohaniwan Islam dan pengamat televisi mengkritik acara televisi yang begitu-begitu saja, kering dari pesan moral dan sebagainya.

Hasilnya? Tetap sama. Pedoman televisi adalah rating, tidak lebih dna tidak kurang. Ramadan juga menjadi saat yang tepat untuk menjual pernik-pernik bernuansa islami. Para penjual kerudung biasanya menikmati rejeki Ramadan karena omzet mereka rata-rata naik 50% sampai 100%.

Demikian juga dengan penjualan pernik-pernik islami yang lain, seperti baju koko, gamis, sarung, dan mukena. Baik pedagang beneran di pasar-pasar atau mal-mal hingga pedagang jadi-jadian yang berjualan melalui media sosial atau gadget, semuanya semangat menjajakan dagangan.

Rumah makan atau restoran pasti akan banjir konsumen, terutama menjelang waktu buka puasa hingga malam. Tak jarang mereka menambah gerai karena biasanya pengunjung akan membeludak di pekan pertama hingga kedua Ramadan.

Jangan coba-coba datang mendadak ke restoran untuk berbuka puasa karena sangat mungkin akan kehabisan tempat. Banyak restoran tidak melayani pemesanan tempat karena bisa repot menghadapi pengunjung yang datang tanpa reservasi (walk in guest). [Baca selanjutnya: Harga Komoditas Pokok]Harga Komoditas Pokok

Ketika melihat suasana restoran saat berbuka puasa, rasanya kita tidak percaya kondisi ekonomi negeri kita tengah melambat. Seperti biasa, harga sejumlah komoditas strategis seperti cabai, gula, minyak goreng, dan terutama daging merangkak naik selama Ramadan hingga Lebaran.

Kenaikan harga itu terjadi di antaranya karena pasokan yang minim, sejumlah pihak sengaja menimbun barang, atau banyak keluarga yang sejak jauh hari menimbun sejumlah barang sebagai jaga-jaga. Kali ini ada hal baru yang disampaikan Presiden Joko Widodo.

Ia bertekad akan menurunkan harga daging hingga hanya Rp80.000 per kilogram, padahal harga daging sapi saat ini Rp120.000 per kilogram hingga Rp130.000 per kilogram. Semoga target harga daging ini terwujud karena ini bukan janji politikus yang hendak mengikuti pertarungan pemilihan umum. Ini janji seorang presiden.

Aneh memang. Ramadan yang semestinya menjadi bulan prihatin, bulan berhemat, dan bulan penempaan jasmani dan rohani malah berubah warna menjadi bulan pesta, bulan berbelanja, bulan foya-foya, dan sebagainya.

Tempat-tempat hiburan akan tutup sepekan awal Ramadan dan sepekan akhir Ramadan. Di luar itu, boleh buka. Ketika saya kanak-kanak ibu saya mengatakan orang yang berpuasa harus siap menghadapi godaan. Godaan yang tampak maupun yang tidak tampak.

Hebatnya hidup karena ujian. Hebatnya amal karena godaan. Jika logika ini dijadikan pegangan, mestinya biarin saja tempat hiburan membuka layanan. Kalau orang-orang tidak datang karena lebih mementingkan ibadah, toh mereka akan tutup sendiri.

Ah, tetapi sudahlah. Toh banyak yang pura-pura tutup tetapi sebenarnya buka. Lalu ada pula tradisi buka bersama atau bukber dengan aneka takjil khas semacam kolak dan aneka penganan lainnya. Yummy makanannya, yummy pula silaturahminya.

Bukber menjadi semacam sarana komunikasi dan silaturahmi dengan klien atau rekan. Masjid dan musala akan semakin terang benderang. Jemaah berjubel, tempat wudu menjadi terasa kurang luas. Para penceramah kelas kampung hingga kaliber dai terkenal berseliweran dari mimbar ke mimbar.

Ibarat lari massal, selalu padat di saat start, namun pelan-pelan rombongan berkurang. Hanya mereka yang mendapat kenikmatan rohani yang akan terus mengunjungi tempat ibadah. Mereka yang obor blarak atau setengah-setengah akan layu sebelum pertengahan Ramadan.

Melewati pertengahan Ramadan, kepadatan tempat ibadah mulai berkurang, berpindah ke mal dan jalanan karena orang mulai memikirkan Lebaran. Sepekan menjelang Ramadan, banyak saudara kita dari luar daerah pulang ke kampung halaman untuk mengikuti acara nyadran.

Nanti menjelang Lebaran semakin banyak kerabat kita yang pulang kampung untuk mengikuti ritual sosial bernama mudik. Itulah puncak kehidupan kebanyakan orang Indonesia. Berpayah-payang 11 bulan, lalu menikmatinya dalam etalase kehidupan masa Lebaran.

Yang hebat, yang sukses, yang benderang, terlihat atau diperlihatkan saat Lebaran. Begitulah, ritual puasa selama sebulan yang ditutup dengan Hari Raya Idul Fitri ternyata menimbulkan banyak sekali kegiatan masyarakat.



Ritual ini mampu menggerakkan berbagai aspek ekonomi dan sosial. Mengapa justru aspek ekonomi yang lebih kentara? Bukankah semestinya aspek spiritual yang lebih ditonjolkan?

Waktu selalu sama. Kita tak pernah sama. Begitulah suratan hidup. Demikian juga dengan Ramadan. Mereka yang berhasil dalam puasa adalah yang gagah perkasa melawan keangkaramurkaan dalam dirinya. Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya