SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Senin (23/11/2015), ditulis wartawan Solopos Mulyanto Utomo.

Solopos.com, SOLO — Suasana wedangan di warung hik News Café kampung saya Sabtu malam pekan lalu kembali semarak. Situasi begini biasanya memang paralel dengan kegaduhan politik, ekonomi, dan sosial yang sedang berlangsung di negeri ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Jika negeri ini gaduh, heboh pula arena jagongan di warung hik saya itu. Hari itu tiba-tiba Raden Mas Sulaya bersungut-sengut. ”Pemimpin kok padha ora nggenah. Lama-lama negeri ini menjadi rapublik waton sulaya,” gerutu Raden Mas Sulaya membuka perbincangan yang kelihatannya bakal gayeng karena sahabat karib berdebatnya, Mas Wartonegoro, hadir juga di situ.

Kosik, Denmas. Kalau berbicara itu dikasih prolog dulu. Jangan langsung kesimpulan begitu. Apa maksud sampeyan lama-lama negeri ini menjadi republik waton sulaya seperti nama sampeyan,” timpal Mas Wartonegoro sembari tersenyum simpul.

”Ini soal ontran-ontran PT Freeport Indonesia yang sekarang sedang riuh rendah diperdebatkan para petinggi itu. Hla kalau Ketua DPR pekerjaannya mencatut nama presiden dan wakil presiden akan menjadi seperti apa negeri kita ini, Mas,” kata Denmas Suloyo berapi-api.

Sik, sareh dulu. Itu kan baru klaim satu pihak ta, Denmas. Kita tunggu saja, bagaimana nanti hasil penelitian Majelis Kehormatan DPR. Semakin ke sini kan semakin gaduh, semakin membingungkan, siapa sebenarnya yang benar, siapa sebenarnya yang salah. Atau malah kedua-duanya salah? Siapa yang waton sulaya? Yang jelas bukan negeri ini Denmas, akan tetapi para pemimpin kita yang waton sulaya, pating clebung, ora cetha…”

”Tapi, kan sebenarnya sudah cetha wela-wela ta, Mas. Bukti rekaman ada, yang bersangkutan sedikit banyak juga sudah mengakui bahwa memang pertemuan itu ada. Ini yang lapor mentri lho, Mas, ora baen-baen,” jawab Denmas Suloyo lagi.

”Tapi, kan semua itu belum tentu benar, wong kita juga tidak menyaksikan sendiri. Ini semua hanya katanya… katanya. Hla, sekarang malah yang melaporkan akan dilaporkan, apa tidak membingungkan,” kata Mas Wartonegoro.

Hla, ya itu yang saya maksud lama-lama negara ini menjadi republik waton sulaya. Para pemimpinnya waton sulaya kabeh. Tidak memikirkan rakyat, justru memikirkan kepentingannya sendiri-sendiri,” ujar Denmas Suloyo kian sengit.

Begitulah. Diskusi di tingkat akar rumput seperti itu selalu berlangsung seru, gayeng, walaupun sebatas omong kosong bahkan yang terjadi terkadang debat kusir dan tidak akan memengaruhi dan tak akan memunculkan perubahan apa pun terhadap kebijakan pemerintah.

Obrolan kelas rakyat seperti itu setidaknya memberi gambaran bahwa masyarakat di tingkat paling bawah sesungguhnya tetap peduli terhadap situasi dan kondisi bangsa ini.

Kekhawatiran Denmas Suloyo jika bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang waton sulaya tentu menjadi keprihatinan kita semua. Kalimat bahasa Jawa waton sulaya, dalam bahasa Indonesia umumnya diterjemahkan sebagai ”asal beda”.

Waton sulaya sesungguhnya tidak bisa dimaknai sekadar ”asal beda”. Yang dimaksud asal beda di sini lebih bermakna negatif dan mengandung potensi konflik. Menurut pakar bahasa Jawa sulaya sendiri secara harfiah sejatinya berarti ”potensi konflik”. Kata ini berubah menjadi kata kerja yang berarti “”erjadi konflik”, istilah dalam bahasa Jawanya adalah pasulayan.

Nah, waton itu bermakna “asal” sehingga waton sulaya bisa dimaknai sebagai menciptakan potensi konflik, asal berbeda, asal tidak sama dengan yang lain, dan itu sejenis dengan waton seje, waton ngeyel, waton wani, dengan dasar yang belum tentu benar.

Betapa berbahayanya nasib sebuah bangsa jika para pemimpin, para wakil rakyat, para elite politik, pejabat yang diberi kewenangan untuk membuat kebijakan memiliki sikap waton sulaya.
Kisah Ketua DPR Setyo Novanto dilaporkan Mentri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Sudirman Said dengan segala efek lanjutannya adalah contoh betapa para petinggi negera kita ini waton sulaya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan kontroversi soal makelar saham PT Freeport Indonesia itu layaknya sinetron yang menggambarkan perseteruan dua kelompok kepentingan.

Saya sependapat bahwa peristiwa ini adalah potret hitam sejumlah elite yang mengabaikan kepentingan bangsa karena sibuk mengurus kepentingannya sendiri. [Baca: Tidak Amanah]

 

Tidak Amanah
Bayangkan, sebuah negeri sebesar dan sekaya Indonesia ini diurus oleh orang-orang yang tidak amanah dan mengabaikan kepentingan rakyat. Sudah selayaknya pemimpin dengan kepribadian seperti itu mundur dari jabatannya.

Terlepas kontroversi keterangan Menteri ESDM Sudirman Said dan keterangan Setya Novanto terkait pertemuan Ketua DPR itu dengan bos Freeport dan seorang pengusaha, serta penjelasan berbeda pula dari Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan tentang lapor atau belumnya Menteri ESDM kepada Presiden, yang pasti kegaduhan itu membuat rakyat apatis.

Mereka sudah memiliki cacat di mata rakyat. Harapan rakyat kepada pemimpin yang mereka pilih tentu adalah pemimpin yang amanah, sosok priyagung yang ngugemi falsafah tridarma:  rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki), wajib melu hangrungkebi (wajib ikut membela dengan ikhlas), dan mulat sarira hangrasa wani (mawas diri dan memiliki sifat berani untuk kebenaran).

Semua pasti sepakat, kita tidak butuh pemimpin yang pinter nanging keblinger atau pemimpin yang lali marang asale. Untuk mendapatkan pemimpin idaman seperti itu, tentu saja harus melewati seleksi alam.

Salah satunya adalah dengan mencatat perbuatan tercela yang telah mereka lakukan baik sebelum dan pada saat mereka memegang jabatan elite. Moralitas yang baik adalah salah satu sisi penting yang harus digenggam seorang pemimpin. Bukan pemimpin yang waton sulaya.

Dalam salah satu artikel tentang kepemimpinan Maha Patih Gadjah Mada disebutkan sebagai seorang pemimpin besar Gadjah Mada memiliki tiga dimensi falsafah yang dijalankannya, yaitu dimensi spiritual, moral dan manajerial. (pusatbahasaalazhar.wordpress.com)



Dalam dimensi moral, Gadjah Mada menyebut enam prinsip penting yang harus dijalankan seorang pemimpin, yaitu mantriwira yang berwujud berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan; sarjawa upasama berupa sikap rendah hati; tan satrisna yang berbentuk sifat tidak pilih kasih; sumantri berwujud sikap tegas, jujur, bersih, berwibawa; sih samasta bhuwana yang berbentuk kondisi dicintai segenap lapisan masyarakat dan mencintai rakyat; dan nagara gineng pratijna yaitu mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya