SOLOPOS.COM - Tri Rahayu (Dok/JIBI/Solopos)

Kolom kali ini, Jumat (5/2/2016), ditulis wartawan Solopos Tri Rahayu.

Solopos.com, SOLO — Rekomendasi Dewan Ekonomi Kabupaten Sragen yang ingin menjadikan Sragen sebagai kabupaten perdagangan patut ditanggapi serius. Rekomendasi ini tak mendapat respons positif dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Semangat pembangunan citra kawasan atau spirit menggagas karakter kawasan itulah rekomendasi Dewan Ekonomi. Dalam sejarah perkembangan Kabupaten Sragen, semangat pembangunan citra kawasan bisa dikatakan luput dari perhatian para pengambil kebijakan.

Selama 269 tahun, Sragen tak memiliki ciri khusus citra kawasan yang mampu menjual segala potensi. Sragen selama ini dikenal sebagai Bumi Sukowati atau Tanah Sukowati yang tidak lain nama dari Pangeran Sukowati atau Pengeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I).

Dari segi sejarah tipologi kawasan, Sragen memiliki potensi berkembang seperti Kota Jogja dan kabupaten di sekitarnya namun pada kenyataannya Sragen belum mampu menjual kawasan. Museum Sangiran yang diklaim sebagai museum peradaban oleh UNESCO sempat membawa Sragen ke kancah internasional.

Belakangan nama Sangiran tak mampu mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara. Para wisatawan mancanegara lebih mengenal Candi Borobudur dan Candi Prambanan sebagai hasil karya sejarah daripada melihat situs peninggalan 1/3 nenek moyang penduduk dunia di Sangiran.

Bupati Sragen Agus Fatchur Rahman pada lima tahun terakhir mencoba menciptakan ikon baru bagi Sragen sebagai Negeri Sukhavati atau negeri kebahagiaan (surga). Konsep Sukhavati itu diwujudkan dalam atraksi budaya menjelang ulang tahun Kabupaten Sragen tahun lalu, seperti pesta tumpeng dengan atribut pakaian lurik dan sarung goyor, tarian tradisional, dan atraksi seni mulai dari cokekan, campursari, sampai musik jaz.

Seluruh potensi Sragen muncul pada peringatan ulang tahun Sragen tahun lalu yang dikemas selayaknya Negeri Sukhavati dengan menyajikan hiburan yang menyenangkan atau membahagiakan rakyat Sragen. Semua atraksi budaya itu tak mampu menjual Sragen.

Kunjungan wisata masih didominasi rakyat Sragen sendiri yang haus hiburan. Atraksi budaya khas Sragen itu sebenarnya nyaris sama dengan atraksi seni budaya di Solo seperti Solo Batik Carnival dan atraksi budaya lainnya. Bedanya Solo memiliki citra kota yang mampu menarik orang luar untuk datang ke Solo.

Aktivitas bisnis di Solo berkembang dengan munculnya banyak hotel. Citra Kota Solo sering jadi rujukan kota-kota lainnya walau secara faktual masih tertinggal dengan Jogja. Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, hanya 26 kota yang memiliki citra khas dan Sragen tak masuk di dalamnya.

Boyolali yang bersebelahan dengan Sragen memiliki citra yang mencerminkan potensi lokal, yakni susu dan sapi, New Zealand van Java, dan Kabupaten Tersenyum. Sukoharjo juga memiliki citra yang tidak kalah dengan kabupatan lainnya, yakni Kabupaten Makmur, kabupaten gamelan, the house of souvenir, kabupaten jamu, kabupaten pramuka, kabupaten batik, dan kabupaten gitar.

Sragen punya potensi luar biasa yang bisa jadi inspirasi membangun citra kawasan. Selain potensi alam, Sragen memiliki ciri khas di bidang seni pertunjukan, seni vokal, seni pedalangan, dan seni budaya lainnya. Cengkok atau gagrag seni Sragenan diakui para seniman nasional yang berbeda dengan gagrag lain, seperti gagrag Solo dan Jogja.

Almarhum Ki Gondo Darsono pernah membuat cengkok Sragenan khas Kedung Banteng dalam setiap pergelaran wayang kulit yang dikenal dengan cengkok Kedungbantengan. Kini cengkok itu dikembangkan dalang kondang alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Ki Purbo Asmoro.

Sragen punya Muhammad Karno Kd., komponis lagu-lagu badhutan atau gecul, yang pernah menggegerkan dunia seni karawitan dan pedalangan di era 1980-an. Dalang kondang sekelas Ki Anom Suroto tak mampu melayani permintaan penonton yang bersorak meminta gending ala Sragenan.

Ki Anom Suroto harus berburu kaset rekaman lagu Karno Kd. dan melatih para niyaga atau pengrawit dan sinden untuk belajar tembang Sragenan. Salah satu tembang ciptaan Karno Kd. yang menggemparkan jagat pedagangan berjudul Rewel. Tembang ciptaan Karno Kd. mencapai ratusan. [Baca selanjutnya: Tayub]Tayub

Seni pertunjukan yang tak kalah moncer adalah tayub. Tarian tayub pada awalnya merupakan tarian penobatan raja (masa Kerajaan Kediri) dan menjadi tradisi Keraton Mataram. Tayub sempat menghilang pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.

Seni ini muncul lagi di keraton pada masa Kerajaan Mataram (Sultan Agung) hingga ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pengaruh penjajah Belanda mengotori tradisi seni adiluhung itu. Tarian penobatan berubah menjadi tarian penyambut tamu agung.

Tarian itu pernah untuk menjamu para gubernur jenderal Belanda. Pada saat itulah budaya Barat meminum minuman keras masuk mengotori seni tayub. Karno Kd. menamai tradisi Barat itu dengan singkatan 3C, yakni ciu, colek, dan cium.

Paku Buwono X risih melihat tingkat laku orang-orang Belanda itu dan mengeluarkan tayub dari keraton. Tradisi itu diberikan kepada para adipati (bupati). Kesenian tayub hanya berkembang di Wonogiri dan Sragen.

Tayub Sragenan lebih terkenal dan masih tetap eksis hingga sekarang. Tradisi tayub identik dengan tradisi masyarakat pinggiran di wilayah gersang yang haus hiburan rakyat. Tayub tumbuh subur di wilayah Sragen utara, seperti Kecamatan Tangen, Jenar, dan Gesi.

Masyarakat wilayah itu wajib hukumnya menanggap tayub pada setiap hajatan, seperti mantu atau ngundhuh manten. Kesenian ketoprak sebenarnya juga muncul kali pertama di Sragen. Ketoprak yang pernah moncer di Taman Balekambang, Solo, berawal dari ketoprak lesung di Sragen.

Selain itu ada juga kesenian cokek atau cokekan yang asli Sragen. Badan Arsip Daerah Jawa Tengah mengumpulkan data-data dan arsip tentang cokek di Sragen beberapa bulan lalu. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memburu dokumentasi cokek sebagai antisipasi agar kesenian daerah itu tidak diklaim negara lain.

Semua karya seni itu menunjukkan Sragen memiliki segudang potensi yang bisa digali dan diberdayakan. Para seniman di Sragen sebenarnya ribuan orang. Selama ini mereka beraktualisasi dalam wadah Dewan Kesenian Kabupaten Sragen (DKDS).

Sayangnya, DKDS sering kali dipolitisasi untuk kepentingan sempit. Jauh sebelum DKDS muncul, penah ada Paguyuban Asoka Chandra Budaya yang mewadahi semua seniman tari, teater, pedalangan, karawitan, dan seni vokal. Mantan anggota paguyuban itu, Sumiran, menyebut jumlah seniman yang bergabung lebih dari 1.000 orang.



Dari berbagai potensi seni tersebut, saya kira pantas bila Sragen menyandang gelar sebagai Kabupaten Seniman. Sebuah kabupaten  yang melahirkan kesenian-kesenian baru dan berkontribusi bagi khazanah kebudayaan Nusantara.

Kabupaten yang mencipta karya tanpa pamrih dan tanpa klaim sepihak. Kabupaten yang membuka ruang beraktualisasi dalam berbagai hal terutama di bidang seni budaya. Batik kliwonan di Masaran muncul bukan sebagai tradisi imitasi tetapi memiliki roh dan karakter sendiri.

Produk batik kliwonan semula ditangkap para pengusaha dan diklaim sebagai produk perusahaan besar dengan trademark sendiri. Kini, batik kliwonan mulai bangkit dengan mengangkat trademark lokal, seperti batik brotoseno.

Produk lokal sarung goyor di Kecamatan Kalijambe juga menunjukan kreativitas budaya masyarakat setempat. Sarung tenun khas Sragen itu juga bukan ide imitasi tetapi ide orisinal masyarakat yang kemudian ditangkap para pengusaha keturunan Arab untuk diekspor ke Timur Tengah dengan trademark masing-masing perusahaan. Nama sarung goyor Kalijambe sempat hilang.

Sragen sebagai Kabupaten Seniman diharapkan menjadi trademark yang bisa dikenal dunia. Orang mengenal Sragen bukan karena Sangiran tetapi mengenal Sragen lewat karya seni budaya yang diciptakan putra terbaik Sragen.

Pelayanan publik di Sragen yang digagas Bupati Agus Fatchur Rahman dalam empat tahun terakhir, yakni Unit Pelayanan Terpadu Penggulangan Kemiskinan (UPTPK), mampu meraih predikat pelayanan terbaik kedua di Asia Pasifik.

Saya kira tidak mustahil bila pembangunan citra Sragen atau trademark Sragen, seperti Kabupaten Seniman, bisa membahana sampai ke dunia internasional sebagaimana Solo, Jogja, Bandung, dan Surabaya.

Niat baik pemerintah daerah berperan penting dalam menciptakan popularitas Sragen di mata dunia. Pembangunan citra wilayah seharusnya masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) pemerintahan berikutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya