SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Dok/JIBI/Solopoa)

Kolom kali ini, Senin (16/11/2015), ditulis jurnalis Solopos Ichwan Prasetyo.

Solopos.com, SOLOTak ada satu pun berita yang layak dibayar dengan nyawa. Itu pelajaran yang saya terima dari banyak jurnalis senior belasan tahun lalu ketika saya mulai menapaki karier di dunia jurnalisme profesional. Ketika saya belajar jurnalisme secara serius di dunia pers mahasiswa saya juga sudah mendapat internalisasi kredo demikian ini.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Artinya, bila berita yang dibikin seorang jurnalis justru jelas berdampak akan hilangnya nyawa manusia, nyawa si jurnalisnya atau nyawa narasumbernya, sebaiknya dipertimbangkan untuk tak menayangkan berita itu. Dalam kesempatan lain pasti ada cara memublikasikan berita itu tanpa perlu dibayar dengan nyawa, nyawa siapa pun.

Itu adalah bentuk konkret kredo menghargai nyawa manusia. Saya berkeyakinan tak ada suatu apa pun di dunia ini yang setara dengan nilai nyawa seorang manusia. Dalam konteks inilah belakangan gerakan menuntut penghapusan hukuman mati kian bergaung di banyak negara, termasuk di negeri kita.

Saya menjadi sangat sedih membaca kalimat-kalimat, yang tampaknya ditulis dengan penuh semangat, di linimasa Twitter dan Facebook yang intinya ”bergembira” dan ”bersyukur” atas teror penembakan di Kota Paris, Prancis, Jumat (13/11) malam waktu Paris, yang mengakibatkan 153 orang tewas dan banyak yang terluka.

Liberte, egalite, fraternite adalah semboyan yang muncul pada masa Revolusi Perancis 1789. Dalam bahasa Inggris semboyan ini diterjemahkan menjadi liberty, equality, fraternity.  Artinya adalah kebebasan, persamaan hak, persaudaraan.

Liberte adalah cita-cita tentang kebebasan dan kemerdekaan, salah satunya bebas berpendapat dan berekspresi, tentu dalam suasana merdeka, terbebas dari penjajahan bangsa lain. Egalite mendorong berkembangnya nilai-nilai demokrasi, salah satu manifestasinya adalah kesetaraan.

Fraternite memanifestasi menjadi laku menanamkan sekaligus memupuk rasa persaudaraan dan rasa persatuan di antara sesama. Persaudaraan umat manusia apa pun ras, bangsa, agama, kepercayaan, kebudayaan, latar belakang lainnya yang beragam.

Revolusi Prancis pada 1789-1799 yang bertujuan mewujudkan liberte, egalite, dan fraternite—berdasar banyak buku yang menguraikan revolusi Prancis—adalah perjuangan mewujudkan harkat manusia dan kemanusiaan.

Tentu saja perjuangan itu memunculkan ekses-ekses negatif yang bisa jadi bertentangan dengan harkat manusia dan kemanusiaan yang diperjuangkan oleh revolusi itu sendiri. Di banyak buku ihwal revolusi Prancis ada banyak ilustrasi tentang laku ”melindungi revolusi” yang ternyata berdarah-darah.

Ada periode tertentu pada masa revolusi Prancis itu ketika yang berkuasa mengeliminasi siapa saja yang ”kontra-revolusi”. Tentu ada teror di sana. Ada darah dalam laku menyingkirkan yang ”kontra-revolusi”. guillotine adalah ”ikon” masa itu.

Ini memang tak bisa disangkal, bahkan memang tak perlu disangkal. Pelajaranlah yang harus dipetik. Di era kesejagatan, era global, ketika harkat dan martabat kemanusiaan menemukan definisi yang pasti, tentu era gelap dan berdarah-darah itu tak boleh diulangi. Cukuplah itu jadi catatan sejarah untuk peringatan bagi generasi penerus.

Liberte sebagai semangat mewujudkan kebebasan berpikir, hak untuk berbeda pendapat dan bersikap dalam peradaban modern, memang tak mungkin lepas dari egalite dan fraternite.

Bebas berpikir, bebas berbeda pendapat, bebas bersikap dalam semangat kesetaraan di antara sesama manusia dan persaudaraan umat manusia dengan latar belakang yang berbeda.

Hal demikian tentu menuntut kearifan dan pengendalian diri. Kisah majalah Charlie Hebdo yang memuat karikatur Nabi Muhammad SAW dengan perspektif negatif, dalam konteks liberte, egalite, dan fraternite di internal Prancis bisa jadi memang tak jadi masalah.

Ketika era kesejagatan menjadi ruang bersama, tentu muncul ketidaksetujuan terhadap konteks lokal seperti itu. Prancis punya pertalian erat dengan kawasan-kawasan di banyak negeri yang berpenduduk muslim.

Di Prancis banyak imigran muslim dari negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Prancis pernah menjajah negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.

Isu-isu sensitif terkait Islam dan keislaman tentu mudah muncul di Prancis. Dalam konteks inilah mungkin akar kebrutalan—yang tak boleh kita maklumi dan tak boleh kita toleransi—teror penembakan terhadap hampir seluruh awak redaksi Charlie Hebdo enam bulan lalu.

Apakah ini yang memunculkan ”dendam” berkepanjangan yang kemudian berbuah teror lebih brutal lagi—yang tentu, sekali lagi, tak boleh kita maklumi, tak boleh kita toleransi, apalagi bergembira atasnya—pada Jumat malam lalu?

Kelompok radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) melalui pernyataan yang dikeluarkan di Prancis beberapa waktu setelah serangan teror brutal itu menyatakan—atau mengemukakan klaim–sebagai pihak yang bertanggung jawab. Apakah ini linier dengan kasus Charlie Hebdo[Baca selanjutnya di sini]

 

Dalam konteks kemanusiaan universal era kesejagatan, liberte, egalite, dan fraternite menemukan legitimasi faktual dan didukung oleh semua ajaran moral bersumber apa pun, bersumber agama apa pun. Tentu dalam konteks ini ada timbal balik di dalamnya.

Semua manusia mendambakan liberte, egalite, dan fraternite sesuai kapasitasnya. Dalam kondisi demikian ini, elaborasi dan faktualisasi liberte, egalite, dan fraternite meniscayakan pemikiran terhadap hak yang sama yang dimiliki manusia lain. Timbal balik yang muncul akan menumbuhkan keseimbangan.

Dalam konteks demikian inilah saya merasa sangat sedih membaca berbagai kalimat yang diunggah di linimasa media sosial, khususnya Twitter dan Facebook, yang bersubstansi ”bergembira” dan ”bersyukur” atas teror brutal di Prancis yang menewaskan 153 orang pada Jumat malam lalu itu.



Penghinaan terhadap simbol agama tertentu dengan alasan ”mengamalkan”  liberte, egalite, dan fraternite tentu tak bisa dimaklumi, tak bisa dibenarkan. Pembalasan terhadap pengamalan liberte, egalite, dan fraternity yang demikian itu dengan laku kekerasan, teror brutal, pembunuhan jauh lebih jelas tak bisa dimaklumi, tak bisa dibenarkan, tak bisa ditoleransi.

Hal utama yang menjadi pekerjaan kita bersama adalah menjamin elaborasi liberte, egalite, dan fraternite itu dalam keseimbangan. Mencegah kemunculan perilaku dan tindakan keras yang menghalalkan kekerasan dan pembunuhan manusia lain menjadi bagian penting.

Era kesejagatan menuntut kita perlu memperkuat komunikasi dan mediasi antarbangsa, antarkelas sosial, dan antarsistem kepercayaan. Saya setuju dengan penjelasan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pekan lalu, bahwa beragama memang harus radikal.

Makna radikal di sini tentu yang mengacu pada akar katanya, yaitu ”radiks” atau ”akar”. Beragama secara radikal, radikalisme dalam beragama, berarti beragama dengan pemahaman yang mengakar, pemahaman yang sampai ke substansinya.

Radikalisme beragama dalam perspektif—yang benar—demikian ini akan menghasilkan sistem beragama dengan fondasi yang kukuh. Elaborasi beragama dalam kehidupan sehari-hari akan memancar dalam tindakan yang mengakar pada substansi agama, seperti kasih sayang, kedamaian, dan toleransi.

Radikalisme beragama berarti berakar kuat dalam hal mewujudkan dan menebarkan kasih sayang, berakar kuat dalam mewujudkan kedamaian, berakar kuat  memanusiakan manusia, dan berakar kuat menjunjung tinggi toleransi dan tenggang rasa.

Radikalisme beragama yang demikian ini jelas tak bisa bersatu dengan ekstremisme. Perilaku ekstrem acap kali menghilangkan toleransi dan memunculkan kehendak memaksakan pemahaman dan keyakinannya kepada manusia lain.

Perilaku ekstrem ini yang hari-hari belakangan ini merebak dalam wujud ”ujaran kebencian”. Saya memaknai orang-orang yang ”bergembira” dan ”bersyukur” atas teror brutal di Paris itu bagian dari menebar kebencian.

Laku ini hanya akan menyuburkan ekstremisme yang kemudian membuahkan perilaku radikalisme anarkistis. Anarki yang berakar kuat. Ini sangat berbahaya bagi manusia dan kemanusiaan. Harus kita cegah bersama-sama.

Cara termudah adalah mencegah diri kita menjadi bagian penebar kebencian, mencegah diri kita menjadi subjek penyebar ujaran kebencian. Jangan sampai diri kita menjadi bagian yang memaklumi teror dan tindakan brutal yang tak menghargai manusia dan kemanusiaan, tak menghargai nyawa manusia.

Bukankah ujaran-ujaran kebencian, di mana pun, selalu menyulut konflik? Bukankah ujaran-ujaran kebencian justru bertentangan dengan semangat liberte, egalite, dan fraternite? Bukankah semua ajaran agama menghargai nyawa manusia begitu tinggi, bahkan sangat tinggi?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya