SOLOPOS.COM - Sosok Mbah Slamet atau Mbah Wiyoto, saksi hidup letusan Gunung Merapi di tahun 1930an (Instagram/@kabarjogja)

Solopos.com, JOGJA— Akhir-akhir ini, Gunung Merapi di Jawa Tengah memperlihatkan akvitivas vulkaniknya yang terbilang cukup signifikan. Berdasarkan data dari Balai Penyelidikan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menunjukan bahwa naiknya aktivitas vulkanik pada salah satu gunung paling aktif di dunia itu dapat dilihat pada fenomena hujan abu yang terjadi pada hari Minggu (8/8/2021) lalu.

Mengutip laman Instagram @kabarjogja, Senin (9/8/2021), dari pantauan BPPTKG tersebut, terhitung sudah enam kali guguran disertai awan panas. Jarak luncur terjauh pada 3000 meter ke arah hulu Kali bebeng, sektor barat daya. Sejumlah daerah yang berada dalam radius 10 km dari puncak Merapi diguyur hujan abu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Beberapa daerah yang mengalami hujan abu dari Gunung Merapi adalah Kota Magelang, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali dan beberapa daerah lainnya. Peristiwa ini mengingatkan kembali sosok saksi hidup akan keganasan letusan Gunung Merapi yang pernah terjadi di tahun 1930an silam.

Ekspedisi Mudik 2024
Letusan Gunung Merapi pada 6 Januari 2021
Letusan Gunung Merapi pada 6 Januari 2021 (Instagram/@fotokitaid)

Baca Juga : Bendera Putih PKL Malioboro Dorong Aksi Penggalangan Dana

Mbah Slamet atau dikenal juga dengan Mbah Wiyoto merupakan salah satu saksi hidup bencana letusan Gunung Merapi yang besar. Siapa sebenarnya sosok Mbah Slamet ini? Dia adalah warga Dusun Tunggul Arum, Desa Wonokerto, Kecamatan Kapenawon Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Kondisinya yang sudah lanjut usia membuat dirinya sudah lupa kapan dilahirkan namun Mbah Slamet ini masih ingat betul dengan kejadian letusan Gunung Merapi pada tahun itu. Dia menceritakan bahwa waktu itu dirinya masih anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya bernama Mbah Tomokaryo di Dusun Tunggul Wulung.

Dusun ini berada di punggungan bukit yang terletak di Kali Bedog dan Kali Krasak. Dusun ini diapit oleh sungai besar yang berhulu di Gunung Merapi. Dalam wawancaranya dengan media, Mbah Slamet yang tidak fasih berbahasa Indonesia ini mengatakan bahwa waktu letusan terjadi, lahar dari Gunung Merapi itu mengalir dengan hebatnya sampai mengubur sungai yang ada di dekat dusun.

Baca Juga: Nyaman Berada di Yogyakarta, Rio Febrian Boyong Keluarga

Dalam percakapannya dengan Bahasa Jawa, duda dengan empat anak ini mengatakan “Ngeleler kaya jladren” (laharnya mengalir seperti adonan). Dalam ingatannya, letusan Gunung Merapi pada era 1930 itu adalah yang terdahsyat sedangkan aktivitas vulkanik saat ini dia anggap belum ada apa-apanya dibanding kejadian pada 91 tahun silam itu.

Mbah Slamet ini mengaku bahwa dirinya tidak punya nama lengkap, dia dikenal dengan nama Slamet saat masih kecil dan saat sudah dewasa hingga sekarang diberi nama Wiyoto namun sebutan Mbah Slamet paling banyak dipakai oleh warga setempat untuk menyapanya. Mbah Slamet ini juga memiliki lima saudara kandung, namun semuanya sudah meninggal sejak  belasan atau puluhan tahun yang lalu.

Meskipun sudah tua renta, namun Mbah Slamet yang berusia 96 tahun masih aktif berkebun, seperti mencangkul hingga memanjat pohon untuk memetik buah, hasil perkebunan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya