SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Di laman Facebook saya mengikuti grup yang berisi berita dari salah satu media—koran--nasional. Hampir semua liputan yang disajikan koran tersebut, pada hari yang sama, dapat dengan mudah saya jumpai di grup itu. Dengan demikian, saya tak harus berlangganan korannya, baik cetak maupun versi digital dan e-paper.

Lewat kanal Facebook itu saya dapat membaca berita dengan gratis. Berita diunggah oleh sebagian orang yang berlangganan secara resmi, berniat berbagi informasi kepada publik tanpa harus repot membayar untuk membeli koran. Selain dalam bentuk teks (tulisan), unggahan di grup itu juga disertai format e-paper (portable document format atau PDF).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pembaca tinggal memilih mau membaca dalam bentuk teks atau format e-paper. Pada saat yang bersamaan, masih di laman Facebook yang saya, perusahaan koran itu gencar menawarkan diskon 50% bagi publik untuk berlangganan e-paper atau versi digital. Dua hal yang kontradiktif. Ironis bukan?

Setiap hari lewat aplikasi komunikasi Whatsapp saya juga memperoleh kiriman banyak koran (beberapa di antaranya majalah) dalam bentuk PDF. Hal itu belum termasuk yang dibagikan di grup atau komunitas. Selanjutnya anggota grup mengirimkan ulang (forward) kepada orang lain. Begitu seterusnya.

Barangkali hanya satu atau dua orang yang berlangganan secara resmi di situs media massa terkait, namun karena mudah berbagi informasi lewat media sosial, seolah-olah setiap orang dapat langsung ikut membaca. Apa yang terjadi kemudian? Perusahaan media massa (sebutlah koran dan majalah) tidak lagi mendapat keuntungan dari penjualan versi digital, malah sebaliknya: terus merugi.

Yang berlangganan sedikit, tapi informasi dibagikan secara masif. Terlebih, untuk membaca berita, publik tidak lagi memiliki keharusan membuka situs media massa, tetapi cukup membuka laman media sosial seperi Facebook, Instagram, atau Twitter.

Di laman media sosial itu terdapat tautan yang berisi berita tentang apa pun, diunggah oleh banyak perusahaan media massa, dengan harapan menarik simpati publik untuk bersedia membaca dengan mengeklik. Apabila diklik, kita akan diarahkan ke situs resmi media massa. Banyak sedikitnya klik itu akan menandakan jumlah pembaca (viewers).

Semakin banyak dikunjungi dianggap bahwa berita-berita yang disajikan menarik minat publik. Dengan demikian produsen tidak ragu-ragu mengiklankan produk di media massa tersebut. Jalan ini juga tak kalah problematis. Begitu banyak berita yang lalu-lalang di lini masa media sosial sehingga terjadi persaingan merebut hati pembaca.

Sering redaksional judul dibuat bombastis lewat kata-kata yang sering kali hiperbolis. Akbatnya, di lini masa media sosial, yang terjadi kemudian adalah perang judul antara satu media massa dengan lainnya (clickbait). Apakah dangan jalan itu masalah telah selesai? Ternyata belum.

Ada kecenderungan publik saat ini malas membaca karena kodrat media sosial lebih diperuntukkan sebagai sarana eksistensi diri—narsisme--dibanding upaya mendapatkan informasi bermutu. Publik lebih tertarik membaca judul-judul berita dibanding isi berita.

Lihatlah ruang komentar pada tautan berita di media sosial. Banyak orang yang membuat kesimpulan hanya berdasar judul berita. Laman resmi media massa urung dikunjungi menyebabkan aspek keterbacaan berita rendah, padahal bisa jadi di media sosial tautan berita itu menimbulkan kegaduhan dengan bayaknya komentar misalnya.

Hal tersebut menunjukkan bisnis media massa belum menemukan format yang bagus pada zaman ini. Keuntungan sepenuhnya justru didapat oleh media sosial karena semakin banyak informasi yang diunggah di media sosial maka media sosial itu dianggap sebagai ruang promosi ideal. Pendapatan dari iklan terus naik.

Upaya Melawan

Oleh karena persoalan inilah pemerintah Australia berupaya mengenalkan rancangan undang-undang yang mengharuskan Facebook dan Google membayar royalti kepada perusahaan-perusahaan media di Negeri Kanguru itu. Alasannya sederhana. Facebook (serta Google) dianggap menyabotase pelanggan--dalam hal ini pembaca--media massa di negeri itu.

Pemerintah Australia menyatakan Facebook menerima banyak keuntungan lewat berita atau informasi dari kanal media massa yang tertaut di lini masa media sosial itu atau yang dibagikan oleh para pengguna Facebook, sebagaimana kisah koran nasional yang saya  kemukakan di atas.

Rancangan undang-undang tersebut menjadi penting untuk diloloskan karena kondisi perusahaan media massa di Australia (hal yang sama juga terjadi di hampir semua negara) sedang kembang kempis, terlebih pada saat pandemi Covid-19 seperti saat ini. Sebagaimana diberitakan BBC (22 Januari 2021), Google dan Facebook menolak rancangan undang-undang itu.

Manajemen Facebook dan Google menganggap rancangan undang-undang itu melanggar kodrat bisnis digital, terutama keterbukaan informasi yang cair dan bebas di Internet. Kedua perusahaan besar itu beralasan bagaimana mungkin mereka harus membayar hanya untuk laman—link atau pranala­--berita dari media massa yang tertaut di lini masa.

Menurut manajemen Facebook dan Google, seharusnya pemerintah Australia bersyukur karena Facebook dan Google membantu mempromosikan berita dari banyak perusahaan media massa. Pendapat yang demikian memang tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar.

Media sosial seperti Facebook (dan Google) itu seperti monster yang memakan semuanya. Situs apa pun, tidak terkecuali media massa, dapat menjadi bagian. Kodrat yang demikian otomatis menyebabkan mereka memiliki banyak pengikut (followers). Google adalah mesin pencari paling mutkhir di abad ini, sementara Facebook adalah media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak di dunia.

Persoalan itu yang menjadikan mereka sebagai candu. Hampir semua perusahaan media massa harus menautkan alamat website pada Facebook dan Google dengan harapan dapat dibaca atau dilihat publik sebanyak-banyaknya. Ada semacam ekstase bahwa tidak akan lengkap berita yang disajikan tanpa terlebih dahulu diunggah (dipromosikan?) di lini masa media sosial.

Hal itulah yang menyebabkan media massa terjebak menyajikan konten yang banal, terutama pembahasaan judul, dalam upaya menggaet pembaca. Sebagaimana saya ungkapkan di atas, masalahnya tidaklah sesederhana itu.

Semakin banyak informasi atau berita yang beredar di lini masa media sosial seolah-olah semakin mengukuhkan bahwa perusahaan media massa tak lagi dibutuhkan karena kini media sosial itulah media massa yang sesungguhnya.

Perusahaan media massa hanya menjadi pemasok (suppliers) bagi eksistensi media sosial. Apakah pemerintah Indonesia akan melakukan hal yang sama seperti Australia dengan membuat rancangan undang-undang sejenis atau tetap diam sambil menunggu satu per satu perusahaan media massa berguguran?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya