SOLOPOS.COM - Ilustrasi Perang Bubat (Instagram/@odhetz)

Solopos.com, SOLO Meskipun tinggal dalam satu daratan Pulau Jawa, Suku Sunda dan Suku Jawa memiliki sejarah pelik hingga melahirkan sebuah mitos yang sampai kini masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat tradisional. Mitos tersebut adalah adanya larangan pernikahan antara Suku Jawa dan Suku Sunda yang dilatarbelakangi Perang Bubat.

Perang ini terjadi pada masa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda atau sekitar abad ke-14 Masehi. Dilansir dari Okezone.com, Kamis (2/12/2021), kisah Perang Bubat diawali dari ambisi Mahapatih Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit yang ingin mempersatukan Nusantara, sesuai dengan isi Sumpah Palapa yang dia pegang. Namun saat itu, Kerajaan Sunda bernama Pakuan Pajajaran yang berada di Jawa bagian barat menolak takluk hingga akhirnya membuat perselisihan besar antara kedua kerajaan tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berbagai upaya mediasi, salah satunya melalui diplomasi telah dilakukan oleh kedua belah pihak kerajaan, namun upaya tersebut sia-sia karena perselisihan masih terjadi dan penyebab utamanya berasal dari sang Mahapatih Gadjah Mada. Hingga akhirnya timbulah cerita romansa yang datang dari dua insan masing-masing kerajaan. Mereka adalah Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit dan Dyah Pitaloka Citraresmi, seorang putri Kerajaan Negeri Sunda yang dipimpin oleh Prabu Maharaja Linggabuana.

Baca Juga: Aji Saka, Nenek Moyang Orang Jawa?

Ekspedisi Mudik 2024

Dihimpiun dari Wikipedia, dikisahkan Prabu Hayam Wuruk berniat mempersunting Putri Dyah Pitaloka Citraresmi. Ketertarikan Hayam Wuruk terhadap Dyah Pitaloka Citraresmi diawali dari sebuah lukisan yang menggambarkan putri kerajaan Sunda tersebut di Kerajaan Majapahit. Lukisan tersebut dibuat oleh seorang seniman bernama Sungging Prabangkara.

Niat Hayam Wuruk ini direstui oleh Kerajaan Majapahit dengan tujuan menaklukan Kerajaan Sunda melalui pernikahan. Oleh karena persetujuan dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirim surat kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi. Upacara pernikahan rencananya dilakukan di Kerajaan Majapahit.

Akan tetapi, strategi Kerajaan Majapahit terkait penaklukan Kerajaan Sunda ini sudah tercium oleh Patih Kerajaan Sunda, Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Dia menilai pernikahan itu sebagai jebakan diplomatik karena saat itu Kerajaan Majapahit hendak berekspansi hingga menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Selain itu juga tidak lazim jika pihak calon pengantin wanita yang harus menghampiri calon mempelai pria.

Baca Juga: Asale Bahasa Ngapak, Ternyata Dari Suku Kutai di Kalimantan Timur

Karena alasan garis keluarga yang dimiliki dari kedua belah pihak, Linggabuana tetap berangkat ke Majapahit bersama rombongan dari Kerajaan Sunda dan diterima oleh Kerajaan Majapahit dengan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Dalam pertemuan dari dua kerajaan ini timbul konflik akibat kesalahpahaman, Mahapatih Gadjahmada menganggap kedatangan Prabu Maharaja Linggabuana adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.

Perang Bubat

Gadjah Mada dalam hal ini mendesak agar Hayam Wuruk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin tetapi sebagai tanda takluknya Negeri Sunda dan pengakuan superiortias Mahapatih atas Kerajaan Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan di Kerajaan Majapahit saat itu.

Akhirnya terjadilah insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gadjah Mada yang berakhir dengan peperangan di Pesanggrahan Bubat yang dikenal dengan Perang Bubat. Perang ini terjadi karena kedua belah pihak mempertahankan kehormatan kerajaan masing-masing. Peperangan ini berakhir dengan gugurnya Prabu Maharaja Linggabuana beserta rombongannya karena kalah jumlah dengan pasukan Gadjah Mada.

Baca Juga:Hutan Pinus Sigrowong, Wisata Temanggung yang Bikin Hati Tenang

Dalam kisah ini, Dyah Pitaloka juga dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan kerajaannya. Tindakan ini diikuti pula oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku kasta Ksatria, tindakan bunuh diri masal oleh para kaum perempuan Sunda itu dilakukan jika para kaum laki-laki gugur dalam medan perang dalam misi membela kedaultan kerajaan.

Akibat dari perang Bubat ini dikatakan bahwa Hayam Wuruk jatuh dalam perasaan bersalah yang mendalam hingga hubungannya dengan Gadjah Mada rennggag. Gadjah Mada pun menghadapi kecaman dari para pejabat dan bangsawan Majapahit yang membuat nama kerajaan hancur oleh karena ambisinya dalam memenuhi Sumpah Palapa.

Hingga akhirnya Gadja Mada mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Mahapatih. Namun kendati demikian,  jabatan Mahapatih pada Gadjah Mada tetap disematkan hingga akhir hanyatnya pada 1364 Masehi. Dampak besarnya dari perang ini adalah perselisihan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda yang semakin besar hingga akhirnya muncul peraturan yang menjadi mitos terkait larangan pernikahan antara Suku Sunda dan Suku Jawa yang masih dipegang oleh sebagian kecil masyarakat tradisional, khususnya dari masyarakat Sunda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya