SOLOPOS.COM - Presiden Joko Widodo (YouTube Setpres)

Solopos.com, SOLO — Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Titi Anggraini memandang penting ada diksi yang tegas menolak wacana masa jabatan presiden/wakil presiden RI tiga periode.

Karena tanpa diksi yang tegas wacana tersebut bisa mewujud menjadi kenyataan. Masa jabatan presiden tiga periode, kata dia, mengancam kredibilitas demokrasi Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Semua pihak yang punya otoritas (Presiden, DPR, DPD, maupun elite politik/pimpinan parpol) mestinya menghindari penghalusan/eufemisme dalam meresponsnya,” kata Titi Anggraini dalam webinar LHKP PP Muhmmadiyah bertajuk Presiden Tiga Periode: Antara Manfaat dan Mudarat, Senin (13/9/2021) sore seperti dikutip Antara.

Kepatuhan Konstitusi

Selain Titi Anggraini, Ketua PP Muhammadiyah M. Busyro Muqoddas tampil sebagai pembicara utama, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, peneliti senior LIPI Siti Zuhro, dan peneliti senior Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan UMY Iwan Satriawan serta Benny K. Harman (politikus Partai Demokrat) sebagai narasumber.

Ditegaskan kembali oleh Titi Anggraini bahwa penolakan sejumlah kalangan terkait dengan masa jabatan presiden/wakil presiden itu tidak lagi sekadar direspons secara formalitas kepatuhan berkonstitusi.

Baca Juga: Masa Jabatan Presiden Tiga Periode Mengancam Kredibilitas Demokrasi 

“Faktanya teks Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga bisa diubah di tengah koalisi mayoritas saat ini,” kata Titi dalam webinar yang diikuti sekitar 300 orang dari pelbagai daerah di Tanah Air.

Berpotensi Krisis

Semestinya, kata Titi, secara tegas menolak wacana masa jabatan presiden tiga periode maupun perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan pemilu, baik secara substansi maupun filosofis, mengancam kredibilitas demokrasi Indonesia dan bisa menimbulkan krisis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Titi mengemukakan masa jabatan presiden 5 tahun atau maksimal dua periode merupakan buah dari refleksi mendalam atas perjalanan sejarah kepemimpinan politik Indonesia.

Baca Juga: Megawati Ingatkan Lagi Kader Agar Patuhi Aturan Partai, Menyindir Siapa? 

“Pergulatan hukum yang dikonstruksi sebagai produk reformasi yang inklusif untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang otoriter dan terpusat pada individu atau mencegah personalisasi kepemimpinan bernegara,” tuturnya memaparkan.

Cocok

Ia menilai masa jabatan maksimal 10 tahun cocok dengan kultur politik di Tanah Air, yakni tidak terlalu pendek bagi presiden untuk bekerja dalam memenuhi janji-janji kampanyenya.

Namun juga tidak terlalu lama untuk memberi kesempatan bagi rakyat menilai kinerja dan kepemimpinan presiden apakah layak untuk terus berkuasa ataukah diganti sosok yang lebih tepat.

Baca Juga: Amendemen Terbatas UUD 1945? Surya Paloh: Tanya Rakyat 

Masa jabatan dua periode ini, kata dia, menjadi mekanisme kontrol yang memberi insentif pada penguatan kultur kewargaan.

Sementara itu, masa jabatan tiga periode merupakan bentuk nyata multiple barriers to entry dalam politik dan pemilu Indonesia selain ambang batas pencalonan presiden maupun ketiadaan calon perseorangan di pilpres.

Lemahkan Regenerasi

Menurut dia, hal itu melemahkan regenerasi politik, bahkan makin menghambat kader partai dan warga negara, khususnya kelompok muda dan perempuan, untuk terlibat mengakses pencalonan presiden dan wakil presiden.

Selain itu, lanjut Titi, akan memperburuk politik dinasti/kekerabatan, baik dalam konteks politik nasional maupun lokal.

Masalahnya, masa jabatan yang sangat lama kemungkinan besar untuk mengokohkan kekuatan politik dalam semua lini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya