SOLOPOS.COM - Mujiono, ayah Kopda Eria Ageng menunjukkan foto putranya yang menjadi korban jatuhnya pesawat C-130 Hercules C-130 di Medan, Rabu (1/7/2015). Kopda Eria Ageng adalah warga Pengasih, Kulonprogo. (JIBI/Harian Jogja/Holy Kartika N.S.)

Pesawat Hercules jatuh membawa sejumlah awak dan penumpang. Salah satunya adalah warga DIY.

Harianjogja.com, JOGJA-Jatuhnya C-130 Hercules di Medan, Sumatra Utara, menyisakan duka yang sangat dalam bagi sejumlah keluarga di DIY. Saat kebanyakan orang tengah bersiap menyambut Lebaran dengan orang yang mereka sayangi, beberapa keluarga malah kehilangan orang terkasih.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Rumah sederhana di balik rimbunnya bambu itu mulai didatangi pelayat, Rabu (1/7/2015). Bendera putih yang terpasang di ujung gang menjadi penanda penghuni rumah itu tengah berduka. Rumah di Dusun Puron, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul tersebut milik keluarga Prajurit Satu (Pratu) Warsianto. Anggota Pasukan Khas (Paskhas) TNI Angkatan Udara (AU) tersebut adalah korban kecelakaan Hercules di Medan.

Dengan tatapan sayu, Sumardiyono, ayah mertua dari Warsianto terlihat berusaha untuk tegar saat mengisahkan perjalanan hidup menantunya. Di matanya, Warsianto adalah anak lelaki yang bertanggung jawab, baik kepada orangtua maupun anak dan istrinya. Keputusannya menjadi anggota Paskhas adalah langkah untuk memperbaiki nasib keluarga.

Sejak mengikuti pendidikan di Bandung pada 2008 lalu, sulung dua bersaudara itu memiliki beban berat dalam menanggung hidup orang tua, adik istri dan anaknya. Pasalnya, Febri, adik semata wayangnya hingga kini masih menempuh studi di bangku kuliah.

Guna menyambung hidup, Siyamsih Nur Hidayati, istrinya, mengajar di salah satu sekolah dasar di kawasan Ngemplak, Sleman. Tak hanya itu, Kasije, ibunya pun turut membantu keuangan keluarga dengan berjualan di sekitar rumah.

Kesedihan keluarga Warsianto kian menjadi lantaran, nyaris tak ada pertanda apapun sebelum mereka mendengar kabar menyedihkan itu. Bahkan, beberapa jam sebelum tragedi itu terjadi, Warsianto masih sempat berbincang dengan istrinya melalui sambungan telepon.

“Anto [Wasianto] sempat menjanjikan untuk mudik Lebaran nanti. Dia sudah menjanjikan oleh-oleh kepada kami semua di sini,” kisah Sumardiyono sambil terisak.

Di rumah yang lain, keluarga Kopral Dua (Kopda) Mujiman di Dusun Butuh, Desa Triwidadi, Kecamatan Pajangan, Bantul tak kalah berduka.

Kakak kandung Kopda Mujiman, Tugiman mengaku, meski terbentang jarak, komunikasi antara adiknya dengan keluarga nyaris tak pernah terputus. Namun, ia tak bisa memaksa adiknya untuk sering-sering pulang. Terlebih, ia pun sudah memboyong Siti Fathonah, 31, istrinya untuk bertugas di Pekanbaru.

Sama dengan Pratu Warsianto, Kopda Mujiman juga bertugas di kesatuan yang sama, yakni di Batalyon (YON) 462 Paskhas Pekanbaru. Kopda Mujiman lebih memilih memboyong istrinya untuk tinggal di asrama.

“Baru sekitar 40 hari yang lalu istrinya pulang [ke Bantul] untuk melahirkan. Kata adik saya biar istrinya melahirkan di Bantul saja,” ucapnya.

Kopda Mujiman meninggalkan dua anak, masing-masing adalah Sahwan Mufid berumur 2,5 tahun dan Aisyiah Zahra yang masih berumur sekitar dua bulan.

Sementara, tragedi jatuhnya C-130 Hercules dengan nomor registrasi A-1310 seakan membawa kembali kenangan pahit Muryanto, 43, ke tahun 1991. Dulu kakaknya meninggal ketika Hercules jatuh di Condet, Jakarta Timur, kini adiknya, Kopda Saryanto, 38, juga meninggal dalam penerbangan bersama Hercules di Medan.

Sang kakak, Serda Sudiyono, yang sempat mengenyam pendidikan di AURI Bandung tewas dalam kecelakaan Hercules pada 5 Oktober 1991.

”Memang cita-citanya [Saryanto] ingin seperti kakaknya yang jadi penerbang juga,” ujar Muryanto, di kediamannya di Dusun Kalongan RT 002/RW 027, Maguwoharjo, Sleman, DIY, Rabu (1/7/2015).

Saryanto merupakan anak bungsu dari sembilan bersaudara. Cita-cita Saryanto menjadi anggota TNI muncul sejak kecil. Kala itu, dia melihat Sudiyono mengenakan seragam TNI. Muryanto tak menyangka dua saudaranya sama-sama harus mengakhiri hidupnya karena kecelakaan pesawat Hercules.

Saat Hercules yang ditumpangi Sudiyono jatuh di Condet pada 1991 lalu, Saryanto masih duduk di kelas VII SMP. Muryanto mengingat betul tragedi itu menimbulkan duka mendalam kepada keluarganya. Keluarga tak bisa bertemu, bahkan tak bisa membawa pulang jenazah Sudiyono. Saat itu, semua korban dimakamkan secara massal di Pondok Aren, Ciledug.

Sang ibu menjadi orang yang paling terpukul atas peristiwa itu. Kondisinya begitu lemah ditinggal putra yang saat itu masih menjadi siswa AURI Bandung.

”Setahun kemudian ibu nyusul, meninggal. Masih enggak terima [Sudiyono meninggal],” katanya.

Saryanto kemudian mengikuti jejak sang kakak menjadi anggota TNI AU. Cita-citanya tercapai. Lebih dari tiga tahun terakhir dia bertugas di Pekanbaru, Riau. Dia meninggalkan istri, Ana Werdiningsih, dan seorang anak Jasmin Aliya Afifah. Jasmin menjadi putri yang sangat didambakan setelah menunggu selama lima tahun masa pernikahan Saryanto.

”Di keluarga kami yang jadi TNI hanya dua orang Saryanto dan Sudiyono. Sekarang sudah meninggal semua,” tutur Muryanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya