SOLOPOS.COM - Kantor PT JMI di Dukuh Karangwuni, Kecamatan Wates, Kulonprogo, YK yang tampak tak terawat, Kamis (25/9/2021). ((Solopos/Mariyana Ricky PD)

Solopos.com, KULONPROGO — Perjuangan petani lahan pasir pesisir pantai Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melawan penambangan pasir besi mendapat tantangan berat dengan berbagai polemik dan kontroversi.

Tulisan bagian ketiga dari lima tulisan hasil peliputan Solopos bersama Tim Kolaborasi Liputan Agraria pada Maret-Juli 2021 ini membahas berbagai polemik dan kontroversi tersebut.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Setelah terbit Kontrak Karya PT Jogja Magasa Iron (JMI) pada 4 November 2008, aktivitas PT JMI pun semakin terlihat di pesisir Kulonprogo. Pada 2009, PT JMI mulai melakukan sosialisasi rencana penambangan pasir besi pesisir Kulonprogo.

Perusahaan itu juga mulai menyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Sumarni, Warga Dukuh Karangwuni, Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, Kulonprogo, masih mengingat bagaimana suasana sosialisasi dan penyusunan Amdal pada 2009 itu.

Baca Juga: Perjalanan Panjang Petani Pesisir Kulonprogo Melawan Penambangan Pasir Besi

Salah satu petani lahan pasir Kulonprogo itu menyebut saat itu tak semua warga diundang mengikuti sosialisasi itu. “Memang enggak semua warga diundang. Di situ istilahnya mengeluarkan unek-unek. Disampaikan semua. Saya datang,” kata Sumarni saat ditemui di rumahnya, Selasa (25/5/2021).

Sumarni juga mengingat bagaimana rencana penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo membelah masyarakat dalam kubu pro dan kontra tambang. Pro-kontra tambang pasir besi menyebabkan antara orang tua dan anak, kakak dan adik tidak saling menyapa.

Pro dan Kontra

Sebagian besar warga Desa Karangwuni terutama Padukuhan Karangwuni menerima penambangan. Sebaliknya, warga Desa Garongan, Pleret, Bugel, Karangsewu dan desa lainnya, menolak tambang.

Para petani lahan pasir Kulonprogo yang tergabung dalam PPLP KP mencoba segala peluang demi menuntut pembatalan Kontrak Karya PT JMI. Peraturan Daerah DIY Nomor 5 Tahun 1992 jo Peraturan Daerah DIY Nomor 10 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DIY tidak mengatur rencana tambang pasir besi di pesisir Kulonprogo adalah RTRW yang berlaku saat Kontrak Karya PT JMI terbit.

Baca Juga: Dulu Diolok-Olok, Petani Pesisir Kulonprogo Kini Sukses Jadi Pemasok Cabai Nasional

Pasal Pasal 37 A ayat (1) Peraturan Daerah DIY Nomor 10 Tahun 2005 justru mengatur pengembangan kawasan pesisir di Kabupaten Gunungkidul, Bantul, maupun Kulonprogo harus menjaga fungsi wilayah pesisir dan laut agar tetap lestari.

Kemudian menjaga dan mempertahankan batas teritorial dan kekayaan sumber daya laut di dalamnya serta mengembangkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut untuk kesejahteraan masyarakat.

Akan tetapi, RTRW DIY lantas diganti Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW DIY 2009-2029. RTRW yang baru itu justru mengakomodasi penggunaan lahan Kulonprogo untuk bandara dan penambangan.

Alokasi lahan pesisir Kulonprogo untuk bandara telah terwujud dengan berdirinya Yogyakarta International Airport. Sementara alokasi lahan untuk pertambangan diatur pada Pasal 58 dan Pasal 60 ayat (2) huruf b angka 2. Isinya menyebutkan sejumlah kecamatan di Gunungkidul dan Kulonprogo dialokasikan untuk kegiatan pertambangan.

Baca Juga: Lestarikan Lingkungan, Tim ITNY Tanam Mangrove di Pantai Trisik

Kontroversi “Pasal Siluman”

Melalui kedua pasal dalam RTRW yang baru itu diatur kawasan pertambangan DIY terletak di dua kabupaten yakni Gunungkidul di mana Kecamatan Panggang dan Ponjong merupakan pertambangan batu kapur. Kemudian Kecamatan Semin sebagai kawasan pertambangan kaolin.

Di Kabupaten Kulonprogo, kawasan pesisir pantai selatan di Kecamatan Wates, Panjatan, dan Galur disebutkan untuk pertambangan pasir besi.

Perubahan RTRW itu akhirnya menjadi kontroversi, karena sejumlah anggota DPRD Provinsi DIY yang membahas rancangannya menyatakan Pasal 58 dan Pasal 60 sebagai “pasal siluman” yang ditambahkan belakangan.

Ketua Pansus Perubahan RTRW di DPRD DIY saat itu, Nazarudin meyakini tak satu pun pasal dalam Raperda RTRW yang disetujui DPRD memuat pasal tentang kegiatan pertambangan.

Nazarudin merasa yakin lantaran pengaturan tentang penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo sudah diusulkan eksekutif dan usulan itu ditolak para anggota DPRD DIY periode 2004-2009.

Baca Juga: Piye Lur, Harga Telur Di Kulonprogo Kok Ambyar

“Saya istilahkan kejahatan legislasi. Karena perda yang diundangkan ke lembaran daerah berbeda dengan yang dibahas Panitia Khusus, sehingga memunculkan ‘pasal siluman’,” ujar eks politikus PAN yang kini aktif di Partai Ummat tersebut.

Anggota DPRD DIY saat itu, Arief Noor Hartanto, alias Inung, melayangkan protes munculnya pasal itu ke Pemda DIY dan tak mendapat jawaban. “Saat itu masa peralihan antara dua periode DPRD [hasil Pemilu 2004 dan Pemilu 2009], sehingga surat itu tak direspons hingga melewati batas waktu surat itu. Saya tidak tahu inisiatif keputusan perubahan RTRW itu dari Pemda DIY atau pemerintah pusat,” ujarnya pada Maret lalu.

Uji Materiil

Sadar bahwa RTRW baru itu bisa memuluskan rencana tambang PT JMI, petani lahan pasir Kulonprogo anggota PPLP KP melawan dengan mengajukan hak uji materiil Perda RTRW DIY ke Mahkamah Agung.

Gugatan ditolak MA dengan alasan pengajuan hak uji materiil melewati batas waktu. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Energi dan Sumber Daya Mineral DIY kala itu, Rani Sjamsinarsi, menyatakan perubahan tata ruang itu sudah sesuai aturan. Perubahan peruntukan suatu lahan itu sesuai kebutuhan pembangunan.

Baca Juga: 25 Destinasi Wisata di Sleman Diusulkan Gelar Uji Coba

“[Tudingan pasal siluman] Itu karena tak memahami saja, lalu digoreng sampai gosong,” kata Rani yang kini Ketua Tim Pelaksana Percepatan Pembangunan Prioritas DIY saat memaparkan perkembangan sejumlah proyek nasional di DIY, Juni lalu.

Bagi Rani, perubahan RTRW DIY itu mengikuti rencana pemerintah pusat. Pembangunan NYIA misalnya, merupakan rencana induk Kementerian Perhubungan sehingga daerah harus bikin aturan baru guna mengakomodasi kebutuhan itu.

petani lahan pasir kulonprogo
Gundukan pasir besi yang bakal ditambang oleh PT JMI, di Dukuh Karangwuni, Kecamatan Wates, Kulonprogo, Kamis (25/3/2021). (Solopos/Mariyana Ricky PD)

“Perda RTRW itu enggak bisa bikin sendiri. Daerah bikin sendiri? Ya, enggak bisa. Ada yang namanya pencadangan dalam aturan RRTW lama yang bisa diakomodasi dalam pembuatan RTRW baru. Termasuk izin tambang [PT JMI] di sana, ya sudah sesuai. Makanya saat kami dipanggil ke MA, kami jelaskan ya tidak masalah,” ucapnya.

Belakangan, RTRW DIY pun diikuti dengan pengundangan Perda Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW Kulon Progo Tahun 2012-2032. Pasal 48 secara eksplisit menyebut kawasan pertambangan mineral logam pasir besi meliputi Desa Jangkaran, Desa Sindutan, Desa Palihan, dan Desa Glagah (Kecamatan Temon).

Baca Juga: Kulonprogo Siap Gelar PTM Tingkat SMP, SD Sabar Ya

Warga Berkonflik dengan Pekerja Tambang

Kemudian Desa Karangwuni (Kecamatan Wates), Desa Garongan, Desa Pleret, dan Desa Bugel (Kecamatan Panjatan), Desa Karangsewu, Desa Banaran, Desa Nomporejo, dan Desa Kranggan (Kecamatan Galur).

Di lokasi, warga khususnya petani lahan pasir pesisir Kulonprogo juga semakin sering berkonflik dengan para pekerja PT JMI yang sejak 2010 semakin banyak beraktivitas di kawasan itu. Tukijo, petani asal Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, masih mengingat pahitnya menjadi pesakitan di Pengadilan Negeri Wates hingga dua kali.



Kasus pertama terjadi pada 2009, saat Tukijo mengkritik salah satu perangkat Desa Karangsewu karena mendukung rencana penambangan. Kritik yang disampaikan berbalik jadi tuduhan pencemaran nama baik yang berujung hukuman tiga bulan penjara dengan enam bulan masa percobaan.

Kasus kedua terjadi pada 2011. Kala itu persoalannya lebih kompleks. Ia dituduh menyandera tujuh pekerja PT JMI meski tak pernah diakuinya. Tukijo divonis tiga tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wates.

Baca Juga: Meski Turun Level PPKM, Pemkab Gunungkidul Belum Berani Buka Objek Wisata

Vonis ini lebih berat dibanding tuntutan jaksa dengan pidana dua tahun. Total, Tukijo menjalani masa tahanan sekitar 2,5 tahun lantaran mendapatkan remisi sekitar tujuh bulan. Ia lantas bebas pada 3 Oktober 2013.

Dipersulit Mengakses Listrik PLN

Keluar dari Lembaga Permasyarakatan Wirogunan pada Oktober 2013, suami Suratinem itu tak lantas jera melawan rencana tambang pasir besi. Ia dan para petani yang tergabung dalam PPLP KP merasa tak punya pilihan selain melawan lantaran rencana tambang itu bakal membuatnya kehilangan lahan pasir yang menghidupinya.

Kriminalisasi juga terjadi pada anak Tukijo, Eko Fitriyanto, dan adik iparnya, Slamet. “Sejak saat itu, kami mulai dipersulit mengakses aliran listrik PLN. Alasannya, karena area tambang milik PT JMI. Kami akhirnya memasang panel surya. Cara ini juga dilakukan oleh petani lain,” katanya, Kamis (25/3/2021).

Panel surya memudahkan petani memperoleh fasilitas listrik untuk menghidupkan pompa air guna mengairi lahan persawahan mereka. Nasib paling sulit dialami mereka yang memilih bersikap berbeda dari kebanyakan tetangganya.

Pro-kontra tambang pasir besi yang terjadi di tengah warga bahkan berdampak pada kehidupan anak-anak mereka. “Kalau anak saya ikut main, teman-temannya pada pergi,” kenang petani anggota PPLP KP dari Desa Karangwuni, Suparno, yang sampai kini tetap menolak tambang pasir besi.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya