SOLOPOS.COM - Foto dari udara di ketinggian 5000 kaki, lokasi dampak semburan lumpur panas Lapindo, Porong Sidoarjo. (Suara.com)

Solopos.com, SIDOARJO — Masih ingatkah Anda dengan semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sekitar 15 tahun lalu? Bencana yang terjadi akibat pengeboran minyak PT Lapindo Brantas itu memecahkan rekor sebagai sumber metana terbesar di Bumi.

Fakta tersebut dijelaskan dalam artikel jurnal bertajuk Relevant Methane Emission to the Atmosphere from a Geological Gas Manifestation yang dirilis jurnal Scientific Report pada 18 Februari 2021.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Para peneliti menyebutkan bahwa semburan lumpur Lapindo memecahkan rekor sejarah gas metan tertinggi di Bumi yang menyumbang efek gas rumah kaca dan bencana hidrometeorologi di Indonesia.

Berdasarkan penelitian tersebut, emisi gas metan dari semburan lumpur Lapindo berimbas pada lonjakan suhu Bumi yang menyebabkan krisis iklim semakin buruk.

Baca juga: Ruas Jalan Solo Ramai Seperti Sudah Tidak Pandemi, Tapi Ternyata..

Munculnya Semburan Lumpur Lapindo

Seperti diketahui semburan lumpur panas itu kali pertama muncul di Dusun Balongnongo, Desa Ronokenongo dan Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 29 Mei 2006. Lumpur panas yang terus menyembur ini menggenangi permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya.

Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik PT Lapindo Brantas.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar disebabkan karena adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke Madura seperti Gunung Anyar di Madura, “gunung” lumpur juga ada di Jawa Tengah (Bledug Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu.

Baca juga: Ditagih Kado Ultah Jan Ethes, Kaesang Pangarep: Bapake Duwe Duit Kok

Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut Bumi itu sekitar 100.000 meter kubik per hari, yang tidak mungkin keluar dari lubang hasil “pengeboran” selebar 30 cm. Dan akibat pendapat awal dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia maupun Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang mengatakan lumpur di Sidoarjo ini berbahaya, menyebabkan dibuat tanggul di tanah milik masyarakat.

Akan tetapi karena volumenya besar, tanggul itu tidak mampu menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas. semburan lumpur Lapindo itu setidaknya menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Total 10.426 unit rumah terendam lumpur dan puluhan ribu jiwa terpaksa mengungsi.

Semburan lumpur ini juga membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp6 triliun.

Baca juga: Ada Bahaya Likuifaksi di Sirkuit Mandalika, Ini Solusi Pengelola

Kasus semburan lumpur panas PT Lapindo ini berlangsung lama sehingga pemerintah mendapat kritikan karena dianggap tidak serius menanganinya. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP.

Sejumlah aktivis lingkungan hidup mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo. Mereka menilai pemerintah terlalu lamban dan menganggap solusi yang diberikan dalam penanganan bencana itu justru menimbulkan masalah baru.

Sementara itu PT Lapindo Brantas Inc. sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya