SOLOPOS.COM - Puluhan anggota Paguyuban Petani Lahan Pesisir (PPLP) Kulonprogo berfoto setelah memasang spanduk penolakan di tepi Jl. Daendels, Kulonprogo, Kamis (1/4/2021).((Solopos/Mariyana Ricky PD)

Solopos.com, KULONPROGO — Para petani lahan pasir pesisir pantai Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tak putus berjuang melawan rencana penambangan pasir besi oleh PT JMI di wilayah mereka.

Selama 15 tahun mereka terus melawan meski tak kunjung berhasil. Pada bagian kelima atau terakhir dari lima tulisan hasil peliputan Solopos bersama Tim Kolaborasi Liputan Agraria pada Maret-Juli 2021 ini membahas berbagai upaya dan rencana strategi para petani itu agar penambangan itu batal.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Rabu (31/3/2021) malam itu, rumah Marwoto, warga Dusun III, Desa Pleret, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo, ramai oleh pria bersarung dan berbaju koko. Widodo dan Suparno, petani yang juga aktivis Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulonprogo (PPLP KP), menyambut tamu di halaman rumah Marwoto.

Para tamu didominasi lelaki paruh baya dari desa tetangga itu duduk beratap tenda yang sedari siang dipasang. Di sekeliling mereka, spanduk-spanduk dengan narasi menentang dan menolak tambang pasir besi terpajang.

Malam itu para petani lahan pasir pantai Kulonprogo itu berdoa bersama, mendoakan agar PT JMI batal melanjutkan rencananya menambang pasir pesisir Kulonprogo yang selama ini menghidupi para petani itu.

Baca Juga: Klaim PAG dan Dalil Sejarah Jadi Senjata Kuasai Lahan Pertanian Pesisir Kulonprogo

Seusai doa bersama, Ketua PPLP-KP, Supriyadi, menegaskan lagi komitmen bersama para petani pesisir Kulonprogo. “PPLP KP tetap komit sampai kapan pun, menentang tambang pasir besi,” tegas Supriyadi malam itu.

Konsistensi Menjaga Alam

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli, yang turut hadir dalam doa bersama di rumah Marwoto ikut bicara. Yogi menyebut pandemi Covid-19 membuktikan pentingnya peran petani sebagai penghasil pangan dalam kondisi krusial.

“Apakah pandemi ini bisa makan bahan tambang, apakah bisa makan besi? Kan boten toh. Kalau krisis, yang dibutuhkan pertama apa selain kesehatan? Kebutuhan atas pangan,” kata Yogi.

petani lahan pantai kulonprogo
Tembok yang mengelilingi tapak pabrik PT JMI di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, Kulonprogo, Selasa (2/3/2021). (Solopos/Mariyana Ricky PD)

Bagi pengacara yang kerap memakai topi flat cap itu, ada tiga pelajaran penting yang diambil dari perjuangan petani lahan pasir pantai Kulonprogo selama 15 tahun. Yaitu konsistensi dalam menjaga alam, merawat lingkungan, dan menghargai hasil bumi yang diproduksi oleh alam dan petani.

“Harapannya, sama seperti bapak-ibu semuanya, tambangnya harus pergi dari sini, dan panjenengan harus kompak, harus solid, harus saling menyemangati. Selama tambang belum pergi dari sini, bapak ibu ampun kesel, ampun capek untuk terus berjuang sampai benar-benar tambangnya pergi dari sini, sampai perusahaan tambang itu enggak ada lagi di sini. Jangan pernah lelah, jangan pernah takut, sepanjang panjenengan melakukan hal yang benar,” tegas Yogi memungkasi hajatan yang berakhir pada pukul 22.12 WIB.

Baca Juga: Polemik dan Kontroversi RTRW Bikin Perjuangan Petani Pesisir Kulonprogo Kian Berat

Serba Tidak Pasti

Setelah 15 tahun berjuang, Supriyadi dan para petani lahan pasir lainnya belum juga menemukan titik terang dan kepastian bahwa PT JMI batal menambang lahan mereka.

Bahkan ketika ada sejumlah proyek nasional dibangun di pesisir Kulonprogo—termasuk proyek Bandara Yogyakarta International Airport—tetap santer terdengar kabar JMI akan melanjutkan rencana tambang mereka.

Wakil Bupati Kulonprogo, Fajar Gegana, juga mengaku tak tahu apakah JMI nantinya benar-benar menambang pasir pesisir Kulonprogo atau tidak. “Kontrak karya ini betul-betul mau dijalankan, apa hanya semacam prototype project yang notabenenya tidak selesai-selesai? Kami melihat ternyata mengolah pasir besi ini tidak semudah mengolah biji besi,” sebut Fajar.

Fajar mengakui lahan yang masuk konsesi kontrak karya PT JMI merupakan lahan pertanian produktif untuk masyarakat. Lahan pesisir bisa untuk bertani, membuat tambak, juga wisata.

Akan tetapi, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo tak bisa membangun infrastruktur pendukung kegiatan warga di pesisir itu gara-gara status area itu sebagai lahan Kontak Karya PT JMI. “Kami mau menganggarkan [APBD] di situ. Secara pertanggungjawaban, kami enggak berani karena [lahan] ini masuk dalam kontrak karya,” ujarnya.

Baca Juga: Dulu Diolok-Olok, Petani Pesisir Kulonprogo Kini Sukses Jadi Pemasok Cabai Nasional

Repotnya, para pihak yang terafiliasi dengan PT JMI juga tak punya informasi yang pasti soal rencana tambang di lahan garapan petani pesisir pantai Kulonprogo itu. Saat ditemui di acara buka puasa bersama di Prambanan, Rabu (5/4/2021), Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi menyatakan telah keluar dari kepengurusan JMI.

Tanggapan Putri Keraton

Ia pun mengaku tidak mengetahui perkembangan perusahaan tambang pasir besi itu. Padahal, GKR Mangkubumi adalah salah satu pemegang saham PT Jogja Magasa Mining, dan perusahaan itu adalah pemegang saham PT JMI.

“Mbuh, ora ngerti. Aku enggak tahu. Aku enggak mengikuti. Sudah dua tahun aku enggak ke situ [JMI]. Wes metu [sudah keluar JMI] tahun yang lalu,” kata putri sulung Raja Keraton Yogyakarta itu.

Ia menjawab disertai tawa ihwal alasannya keluar dari PT JMI. “Ora maju-maju, aku mundur,” katanya.

Presiden Direktur PT JMI, Bobi Sandi, tak bersedia diwawancarai dengan alasan kesibukan. “Saya lagi sibuk sekali. Posisi saya juga di Jakarta terus WFH karena kondisi Covid,” kata Bobi melalui Whatsapp pada Senin (14/6/2021).

Baca Juga: Perjalanan Panjang Petani Pesisir Kulonprogo Melawan Penambangan Pasir Besi

Bobi juga tidak memberikan jawaban tegas ihwal rencana operasional JMI pada 2022. “Kita lihat saja nanti,” tulis Bobi.

Mantan Ketua Komisi Penilai Amdal Kulonprogo, Budi Wibowo, mengungkapkan pada 2018 Kementerian ESDM sudah mengeluarkan izin operasional PT JMI hingga 30 tahun. “Sekarang JMI review Amdal, [menyusun] DED [Detail Engineering Design],” tutur Budi, Senin (14/6/2021).

Mantan Sekda Kulonprogo ini mengaku mengetahui perkembangan JMI dari Bobi Sandi. “Saya komunikasi dengan Pak Bobi Sandi,” katanya.

Menurut Budi, rencananya tahun 2022 PT JMI akan beroperasi. “Mulai 2022 beroperasi. Artinya tahun ini [transmisi alat], insfrastruktur sudah ada, tapi ada persoalan, cerobong. Kami akan memantaunya,” imbuh Budi.

Dikepung Proyek Strategis

Dari waktu ke waktu, penataan ruang di pesisir Kulonprogo sejatinya semakin tumpang tindih. Meskipun setelah Kontrak Karya JMI terbit pada 2008, sudah ada Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) baru yang mengokomodasi rencana penambangan PT JMI.

Tapi nyatanya pesisir Kulonprogo justru menjadi lokasi sejumlah proyek strategis nasional. Pembangunan Bandara Yogyakarta International Airport di Kecamatan Wates misalnya, jelas-jelas bertabrakan dengan rencana penambangan pasir besi di Kulonprogo.

Baca Juga: Susah Terapkan PeduliLindungi di Objek Wisata Kulonprogo, Ini Masalahnya

Lokasi tempat pembangunan pabrik peleburan PT JMI akhirnya harus bergeser 3 km gara-gara cerobong asap peleburan itu bisa membahayakan penerbangan di kawasan Bandara Yogyakarta International Airport (YIA).

Luasan bidang tanah pabrik yang telah dibebaskan PT JMI untuk menjadi area pabrik adalah 168 hektare, namun luasan itu semakin menyusut karena sebagian bidangnya menjadi daerah sempadan bandara.



petani lahan pantai kulonprogo
Suasana malam ulang tahun ke-15 Paguyuban Petani Lahan Pesisir (PPLP) Kulonprogo, Rabu (31/3/2021). Mereka menyuarakan perlawanan terhadap tambang pasir besi. (Solopos/Mariyana Ricky PD)

“Selain mengalah karena pembangunan YIA, kami juga mengalah karena ada Pelabuhan Tanjung Adikarta,” tutur salah satu staf Community Development JMI, Karwa Aziz Purwanto, saat ditemui April 2021 lalu.

Di area konsesi tambang PT JMI juga tengah berlangsung proyek Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS). Dirintis sejak 2004, proyek JJLS melintasi lima provinsi bagian selatan Jawa dari Banten hingga Jawa Timur, termasuk 116 kilometer di DIY.

Di DIY, JJLS terentang 23,15 kilometer di Kulonprogo, 16,58 kilometer di Bantul, dan 76,34 kilometer di Gunungkidul. Ketua Tim Pelaksana Percepatan Pembangunan Program Prioritas DIY, Rani Syamsinarsi, menyatakan tak ada kendala berarti dalam proyek JJLS di DIY.

Baca Juga: Piye Lur, Harga Telur Di Kulonprogo Kok Ambyar

Konstruksi Fisik JJLS

Kini perkembangannya mencapai 70 persen. Hingga kini, jalur sepanjang total 116 kilometer itu lahannya telah bebas seluruhnya untuk dua lajur, sedangkan untuk empat lajur sepanjang 74 kilometer.

“Tahun ini, pengadaan lahan untuk segmen Garongan-Congot di Kulonprogo hampir 30.000 meter persegi,” kata Rani saat ditemui, Senin 16 Juni.

Konstruksi fisik telah terbangun hingga 63,8 kilometer. Untuk tahun anggaran 2021, Pemda DIY membangun 4 jalan dan sebuah jembatan yang jadi bagian JJLS. Nilai totalnya mencapai Rp257 miliar.

Jagabaya (Kasie Pemerintahan Desa) Pleret, Eka Prasetya, menyebutkan total bidang tanah yang tergusur JJLS pada 2020 ada 110 bidang, data terbaru atau tahap kedua tahun 2021 sebanyak 29 bidang. “Dari 29 bidang itu, 10 bidang tanah dan rumah,” kata Eko.

Sedangkan di Desa Bugel, bidang tanah yang terkena JJLS kebanyakan tanah kas desa serta satu bidang tanah warga. Tanah kas desa, kata Jagabaya Bugel, Tri Sujoko, satu bidang berupa sawah dengan luas 4 hektare. Ganti rugi atas tanah itu sudah pemerintah pihak desa. “Sudah kami terima sekitar Rp60 miliar,” kata Tri.



Baca Juga: Lestarikan Lingkungan, Tim ITNY Tanam Mangrove di Pantai Trisik

Di luar urusan JJLS, ada deretan Proyek Strategis Nasional lain di pesisir Kulonprogo, seperti pengembangan pelabuhan Tanjung Adikarto, proyek pengendalian banjir kawasan Bandara NYIA, pembangunan ruas jalan tol Solo-Jogja-Kulonprogo dan Jalan Temon-Borobudur.

Sengketa Baru

Pengadaan tanah bagi proyek JJLS di pesisir Kulonprogo menjadi sengketa baru. Lagi-lagi, sengketa itu melibatkan para petani lahan pantai pesisir Kulonprogo, termasuk Koordinator Lapangan PPLP KP, Widodo. Ia menolak nilai ganti rugi dari JJLS atas tanah dan bangunan rumah permanen yang ia tempati bersama keluarganya.

Rumah itu tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal. Bangunan paling depan persis di tepi Jl Daendels dijadikan tempat usaha kelontong yang dikelola istrinya. Sedangkan teras rumah jadi tempat usaha adik kandungnya, pengepul hasil pertanian warga khususnya petani lahan pasir.

Ada timbangan duduk besar, karung-karung goni berisi cabai merah, kacang panjang dan jenis sayuran lainnya di sana. Menurut Widodo, nilai ganti rugi tanah dan bangunan rumah itu, sertifikatnya masih atas nama ayahnya, Sumarjo, tidak sepadan dengan dampak kerugian yang dirasakan keluarganya.

Baca Juga: Kebutuhan Oksigen Medis di Kulonprogo Turun Drastis

Selain itu, Widodo mempersoalkan transparansi proses ganti rugi yang dilakukan tim appraisal JJLS. Widodo memperlihatkan dua lembar kertas berkop: Nilai Penggantian Wajar Pengadaan Lahan Untuk Jalur Lintas Selatan Ruas Jalan Garongan-Congot, Kecamatan Panjatan, Kecamatan Wates Dan Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo.

Meski objek yang diganti rugi sama, hanya selisih satu meter persegi, namun nilai ganri rugi berbeda, amat jomplang. Di kertas itu dijelaskan tujuh perincian objek dan nilai ganti rugi. Namun, di lembar milik Sumarjo (ayah Widodo), hanya diisi empat perincian.

Gugatan Hukum

Kertas nilai ganti rugi milik Sumarjo dinyatakan luas tanah terkena JJLS 55 meter persegi, dengan perincian indikasi nilai pasar tanah Rp117.095.000; total nilai pasar Rp117.095.000; total nilai non fisik Rp10.688.000; nilai penggantian wajar Rp127.783.000.



pertanian lahan pasir kulonprogo
Petani menggarap lahan pesisir pantai Kulonprogo yang diklaim sebagai Pakualaman Ground (PAG), Kamis (25/3/2021). Petani menolak klaim tersebut. (Istimewa)

Perhitungan itu jauh berbeda dari nilai ganti rugi milik tetangga Widodo. Luas objek yang diganti rugi JJLS seluas 56 meter persegi. Perincian nilai ganti rugi: indikasi nilai pasar tanah Rp118.608.000; nilai pasar bangunan Rp643.727.000; nilai pasar sarana pelengkap lainnya Rp7.800.000. Nilai pasar tanaman Rp89.000; total nilai pasar Rp770.224.000; total nilai non fisik Rp170.665.000; nilai penggantian wajar Rp940.889.000.

Kejanggalan ini tak dapat diterima Widodo. Melalui kuasa hukumnya dari LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, ia mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Wates pada 1 April 2021.

Baca Juga: Masih Ada Wisatawan Terobos Objek Wisata di Kulonprogo Yang Ditutup

“Pak Sumarjo ini cuma dapat Rp127 juta. Itu enggak masuk akal. Padahal jelas-jelas ada bangunan [rumah], punya usaha pelelangan hasil bumi sama toko kelontong,” tutur Julian di PN Wates, sebelum sidang mengikuti perdana digelar, Selasa (13/4/2021).

Menurut Julian, nilai solatium atau keterikatan manusia dan tanahnya tak dihitung dalam ganti rugi proyek JJLS ini. Padahal Sumarjo telah tinggal lebih dari 30 tahun di situ bersama anak-anaknya, bercocok tanam, hingga memiliki usaha jual hasil bumi.

“Nilai keterikatan belum muncul. Tanaman dan bangunan juga penurunan nilai usaha tak dihitung. Ini enggak masuk akal. Jadi kami ajukan ganti rugi Rp3,8 miliar di gugatan,” kata advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini.

Resistensi Warga

Widodo tak sendiri. Gugatan soal ganti rugi JJLS juga dilayangkan Dwi Windu Pancayati. Berdasarkan data SIPP PN Wates, para pihak tergugat yakni tergugat I, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral DIY.

Tergugat II, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DIY, dan tergugat III, Kantor Jasa Penilai Publik Muttaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan Rekan Cq Kantor Jasa Penilai Publik Muttaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan Rekan Kantor Cabang Yogyakarta.

Baca Juga: Jadi Satu-Satunya Zona Merah di Jawa, Ini Upaya Gugus Tugas Kulonprogo



Umumnya, resistensi warga Kulonprogo, termasuk petani lahan pasir pesisir pantai, terhadap pembebasan lahan untuk proyek JJLS lebih rendah ketimbang resistensi mereka terhadap rencana tambang PT JMI. Bagi mereka, JJLS nantinya akan menjadi jalan yang diakses masyarakat umum.

Sementara JMI tambang milik perusahaan swasta. Akan tetapi, para warga juga tak rela jika ganti rugi dalam pembebasan lahan JJLS tidak transparan dan timpang.

Ketua RT di Dusun III, Desa Pleret, Musodik, mencontohkan tanah perkarangan di rukun tangga lingkungannya termasuk lahan milik keluarganya seluas 1.000 meter persegi terkena JJLS. Harga ganti ruginya sama dengan harga lahan tanah sawah.

Tak ada penjelasan yang diterima warga soal itu. “Warga diundang ke balai desa. Tahu-tahu dikasih harga [total ganti rugi] sekian. Cuman kertas kliwiran,” kata Musodik.

Perbedaan Nilai Ganti Rugi

Apa yang dialami Musodik diamini Dukuh Karangwuni, Sumarni. “Kami kan diundang, datang terus dikasih nominal. Kalau mau protes harus waktu itu. Setelah itu enggak bisa,” kata Sumarni.

Baca Juga: KA Bandara YIA Sudah Beroperasi, Warga Bisa Menumpang Gratis

Sumarni mengakui dan mengalami perbedaan nilai ganti rugi tanah dari JJLS. “Itu beda-beda, antara utara dan selatan [Jl Daendels], enggak sama. Misal punya saya, beda-beda. Kemarin enggak dijelasin sama tim appraisal,” tuturnya.

Penerima ganti rugi JJLS, Marwoto, warga Dusun III, Desa Pleret, Kecamatan Panjatan, mendapatkan nilai ganti rugi di luar ekspektasinya. Lahan seluas 454 meter persegi dengan 20 pohon kelapa milik Marwoto di selatan tikungan S Jl Daendels itu mendapat ganti rugi Rp967.537.000.

Ia mengambil pelajaran sebagai warga terdampak ketika membahas ganti rugi dengan pelaksana proyek JJLS. “Harusnya kompak. Sebelum ada pertemuan [dengan tim pengadaan tanah], harusnya kami mengadakan pertemuan, menerima atau tidak menerima harga segitu,” ucap Marwoto.

petani lahan pasir kulonprogo
Gundukan pasir besi yang bakal ditambang oleh PT JMI, di Dukuh Karangwuni, Kecamatan Wates, Kulonprogo, Kamis (25/3/2021). (Solopos/Mariyana Ricky PD)

Julian menyatakan proses pengadaan tanah dan ganti rugi untuk JJLS berjalan tak demokratis. Warga sekadar dikumpulkan untuk penetapan ganti rugi dan keberatan harus diajukan dalam rentang 14 hari setelah itu. Jika tak ada keberatan, warga dianggap menerima besaran ganti rugi.

“Musyawarah tak demokratis. Kesannya hanya formalitas. Warga seharusnya diberi tahu detail ganti rugi hingga dampak proyek JJLS tersebut,” katanya.

Pada sidang perdana, tergugat, yakni BPN dan Dinas PUP-ESDM DIY, tak hadir setelah sidang sempat diskors lebih dari dua jam untuk menanti kehadiran mereka.

Baca Juga: HUT Polwan, Polres Kulonprogo Bantu Warga Terdampak Pandemi

Tetap Berharap Tambang Batal

Mirip dengan pembebasan lahan untuk proyek pembangunan Bandara YIA, Kadipaten Pakualaman menjadi penerima ganti rugi terbesar dalam pembebasan lahan JJLS. Di Desa Karangwuni, tanah PAG yang digunakan untuk Kantor Kalurahan dan SD Negeri Karangwuni turut terkena JJLS.

Menurut Pj Lurah Karangwuni, Dwi Purwanta, ganti rugi atas tanah Kantor Lurah dan SD diterima Pakualaman, sedangkan ganti rugi atas kedua bangunan diterima pemerintah desa dan sekolah. “Perwakilan Pakualaman yang menerima langsung [ganti rugi] saat pemberian secara simbolis [buku rekening], bulan Maret,” kata Dwi Purwanta.

Warga Dukuh Karangwuni, Sumarni menambahkan nilai ganti rugi tanah PAG lebih tinggi dari nilai ganti rugi bangunan yang diterima pemerintah desa. “Bangunan [kantor desa] Rp1 miliar berapa, lupa. Lebih tinggi [nilai ganti rugi] tanah,” ungkap Sumarni.

Jika pendataan dan pematokan PAG bisa dikebut, pundi-pundi uang Kadipaten Pakualaman bakal makin penuh, karena pembebasan lahan untuk proyek JJLS belum selesai.

“Masih ada yang berproses [untuk] kebutuhan empat lajur dari ujung timur dan ujung barat di Kulon Progo,” kata Staf Bina Marga Dinas PUPR DIY M Yunus Albar saat dikonfirmasi di kantornya, Kamis (8/4/2021).

Baca Juga: Cerita Warga Soloraya Berburu Vaksin Covid-19 Sampai ke Kulon Progo

Yang pasti, tumpang tindih antara konsesi Kontrak Karya JMI dan proyek JJLS menunjukkan kacaunya penataan dan pemanfaatan ruang di pesisir Kulonprogo. Risikonya pun bermacam-macam, dari sekadar kerugian uang negara sampai sengketa tanurial yang memciu konflik horisontal maupun vertikal.

Kelindan Proyek

Peneliti Greenpeace, Syahrul Fitra, menyebut kelindan proyek di pesisir Kulonprogo itu, baik JMI maupun JJLS, berdampak buruk bagi warga dan petani. “Kedudukan hukum KK itu mengikat secara hukum melebihi apa pun. Karena KK itu hubungan privat, dianggap sebagai ‘UU’ kedua belah pihak,” tuturnya.

Karena itu, kontrak karya ditentang dan JMI menjadi yang terakhir. “Kontrak karya itu menjanjikan publics goods [kepentingan umum] ke pihak privat dan negara tidak bisa mengendalikan,” tuturnya.

Ia pun mempertanyakan kontrak karya JMI di kawasan yang jadi proyek nasional JJLS karena bakal ada ganti rugi dari pemerintah jika proyek berubah. “Jadi memang proyek yang disengaja untuk dapat duit negara. Karena rencana jalan itu sudah ada,” ujarnya.

Baca Juga: Diluncurkan Menko Luhut, KA Bandara YIA Resmi Dioperasikan Secara Terbatas

Sebagian kecil warga bahkan berharap Proyek Strategis Nasional seperti JJLS akan mampu membatalkan Kontrak Karya JMI. Apalagi ada deretan Proyek Strategis Nasional lainnya di kawasan pesisir Kulonprogo.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yakin proyek JMI berlanjut. “Kalau positif, dalam arti memenuhi standarnya, ya mesti [pabriknya] dibangun,” katanya awal Maret lalu.

Menanggapi pernyataan Gubernur DIY, Widodo mengatakan PPLP tetap bakal menolak pendirian pabrik tersebut, termasuk dengan cara jalanan. “Kalau [Gubernur] ke sini, kami akan sambut dengan apa yang kami punya. Pokoknya proyek JMI gagal atau batal.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya