SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/dok)

Solopos.com, JAKARTA — Lembaga riset Amerika Serikat (AS) AidData mengungkap Indonesia menumpuk utang dari China hingga total senilai USD34,38 miliar, atau setara Rp488,9 triliun dengan kurs saat ini.

Laporan itu mengkaji jumlah penyaluran pembiayaan China kepada sejumlah negara berkembang melalui berbagai proyek selama kurun waktu 2000-2017. Indonesia disebut ada di posisi lima sebagai negara penerima utang terbanyak dari China.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Menanggapi laporan tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo coba menjelaskan utang tersembunyi dari China tersebut dari sudut pandang Pemerintah.

“Agar tdk simpang siur dan terang, kami jelaskan duduk soalnya. Informasi yg disampaikan kurang tepat dan rawan digoreng hingga gosong. Itu bukan utang Pemerintah tapi dikait-kaitkan,” cuit Prastowo melalui akun Twitter @prastow, Jumat (15/10/2021).

Baca Juga: Presiden Apresiasi Transformasi BUMN, Begini Respons Erick Thohir

Dia mengklarifikasi, hidden debt versi AidData tak dimaksudkan sebagai utang yang tidak dilaporkan atau disembunyikan. “Melainkan utang nonpemerintah tapi jika wanprestasi berisiko nyrempet pemerintah. Jadi di titik ini kita sepakat, ini bukan isu transparansi,” serunya.

Prastowo menjabarkan utang Indonesia tersebut dihasilkan dari skema Business to Business (B2B) yang dilakukan dengan BUMN, bank milik negara, Special Purpose Vehicle, perusahaan patungan, dan swasta. Dalam konteks ini, ia menyebut utang BUMN tidak tercatat sebagai utang dan bukan bagian dari utang yang dikelola pemerintah.

“Demikian juga utang oleh perusahaan patungan dan swasta tidak masuk dalam wewenang Pemerintah, sehingga jika pihak-pihak tersebut menerima pinjaman, maka pinjaman ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka,” cuitnya.

Baca Juga: Wow, Neraca Perdagangan RI Surplus 17 Bulan Beruntun!

Transparansi Publik

Menurut dia, bentuk transparansi utang pemerintah tergambarkan lewat proses Penarikan Utang Luar Negeri (ULN) yang dilakukan oleh pemerintah, BUMN, dan swasta gabg tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI). Dokumen itu lantas disusun dan dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan.

“Berdasarkan data SULNI per akhir Juli 2021, total ULN Indonesia dari Cina sebesar USD 21,12 miliar, terdiri dari utang yang dikelola Pemerintah sebesar USD 1,66 miliar (0,8% dari total ULN Pemerintah), serta utang BUMN dan swasta dengan total mencapai USD 19,46 miliar,” jelas Prastowo dalam cuitannya.

“Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, tidak tepat jika terdapat ULN [termasuk pinjaman Cina] yang dikategorikan sebagai “hidden debt”. Semua ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI dan informasinya dapat diakses oleh publik. Tak ada yg disembunyikan atau sembunyi-sembunyi,” tegasnya.

Baca juga: Beroperasi Agustus 2022, LRT Jabodebek Melaju Tanpa Masinis

Sementara terkait utang BUMN yang dijamin, Prastowo melanjutkan, ini dianggap kewajiban kontinjensi pemerintah yang tidak akan menjadi beban yang harus dibayarkan pemerintah, sepanjang mitigasi risiko default dijalankan.

Kewajiban kontinjensi dijelaskannya memiliki batasan maksimal penjaminan oleh pemerintah. Batas maksimal pemberian penjaminan baru terhadap proyek infrastruktur yang diusulkan memperoleh jaminan pada 2020-2024 sebesar 6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) 2024.

“Dengan tata kelola seperti ini, mitigasi risiko dilakukan sedini mungkin dan tdk akan menjadi beban pemerintah, apalagi beban yg tak terbayarkan. Jadi sekali lagi, tak perlu dikhawatirkan sepanjang dikaitkan dengan pemerintah,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya