SOLOPOS.COM - Veronica Koman (Twitter @veronicakoman)

Solopos.com, SOLO -- Pengacara HAM Veronica Koman kirim dokumen 63 tahanan politik atau tapol Indonesia ke Gugus Kerja Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Dokumen ini pernah disodorkan Veronica ke Presiden Jokowi di Australia beberapa waktu lalu.

Ke-63 tapol makar di Indonesia itu meminta pengacara HAM Jennifer Robinson dan Veronica Koman bersama organisasi Tapol untuk membawa kasus mereka ke PBB. Dokumen desakan ini menyebutkan seluruh 63 tapol tersebut ditahan secara sewenang-wenang dan tidak sah. Mereka menyebut telah terjadi pelanggaran terhadap kewajiban Indonesia dalam hukum HAM internasional.

Promosi Viral Dibanggakan Presiden Jokowi di Acara BRI, Ini Kisah UMKM Mama Muda

Jokowi ke Australia, Veronica Koman Sodori Daftar Ratusan Korban Tewas Papua

Para tapol dalam dokumen itu terdiri atas 56 orang asli Papua, 1 orang non-Papua Indonesia, 5 orang Maluku, dan 1 orang kewarganegaraan Polandia. Sebagian besar masih menunggu persidangan, 7 orang telah divonis, dan lainnya sedang menjalani persidangan. Veronica Koman mengirim dokumen tapol itu ke PBB untuk mendesak Jokowi membebaskan mereka.

Ekspedisi Mudik 2024

Dilansir di laman doughtystreet.co.uk, mayoritas (56 tapol) ditangkap ketika aparat keamanan Indonesia menindak demonstrasi besar-besaran Papua pada 2019. Ada yang ditahan hanya karena membawa bendera Bintang Kejora maupun Benang Raja. Ada juga yang ditangkap karena berpartisipasi dalam aksi damai atau menjadi anggota organisasi pendukung referendum Papua.

Veronica Koman Sodorkan Data Ratusan Korban Papua, Mahfud MD Anggap Sampah

"Yang mana kesemuanya adalah kegiatan yang dijamin oleh hukum internasional. Kesemua 63 tapol tersebut dikenakan makar Pasal 106 dan/atau Pasal 110 KUHP, dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun," sebut dalam keterangan tersebut.

Pernah Dicap Sampah

Sebelum ke PBB, Veronica Koman pernah mengirim dokumen 56 dari 63 tapol tersebut kepada Presiden Jokowi saat mengunjungi Australia Februari lalu. Dokumen itu juga dikirim ke Menkopolhukam Mahfud MD, namun saat itu tidak direspons dengan baik.

Disebut Mahfud MD Sampah, Inilah Data Ratusan Korban Papua Veronica Koman

“Namun sejauh ini kita belum mendapat respons apapun, kecuali bahwa Pak Menteri bilang bahwa data tersebut ‘sampah’. Untuk itu, kami mendesak PBB dan pemerintah Indonesia untuk menanggapi masalah tapol ini secara serius. Karena sekarang nyawalah taruhannya,” kata Veronica Koman dalam keterangan itu.

Mereka meminta supaya ke-63 tapol dalam dokumen itu dilepaskan sesegera mungkin tanpa syarat. Ini tak lepas dari pandemi Covid-19 yang membuat penghuni penjara Indonesia yang overkapasitas berisiko tinggi menjadi tempat penularan.

Veronica mempertanyakan kebijakan Menkumham Yasonna Laoly yang membebaskan 30.000 napi dan tahanan di tengah pandemi. Sedangkan 63 tapol tersebut masih dipenjara.

Mahfud MD Bantah Sebut Surat dari Veronica Koman Sampah

“Desakan ini dibuat karena adanya ancaman serius terhadap keselamatan jiwa tahanan yang ditahan di penjara yang overkapasitas di tengah pandemi di Indonesia. Kini penahanan mereka tidak hanya tidak sah tapi juga mengancam keselamatan jiwa. Semua 63 tapol tersebut harus segera dibebaskan tanpa syarat,” kata Jennifer Robinson.

Sayang Mandabayan

Di antara 63 tapol Indonesia dalam dokumen yang diserahkan Veronica Koman ke PBB itu, ada nama Sayang Mandabayan yang dituduh makar. Perempuan 34 tahun itu ditangkap dan ditahan pada September 2019 setelah berorasi dalam aksi West Papua Uprising. Saat itu polisi menemukan 1.496 bendera Bintang Kejora berukuran kecil di tasnya.

Akibatnya, dia terpisah dari anak-anaknya yang masih berumur 1, 2, dan 3 tahun. Dia hanya bisa terkadang menyusui bayinya dari balik jeruji di Manokwari, Papua Barat. Ia juga kehilangan pekerjaan sebagai Ketua DPD Sorong akibat penangkapan dan penahanan ini.

Ke-63 tapol juga termasuk, Paulus “Suryaanta” Ginting, juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua. Dia merupaka orang Indonesia non-Papua pertama yang dikenakan makar terkait Papua. Ada juga Jakub Skrzypski, seorang warga Polandia. Dia merupakan dan satu-satunya WNA yang pernah divonis makar karena bertemu dengan organisasi politik Papua.

Ada pula pasangan lansia, Izaak Siahaj, 80, dan Pelpina Siahaja, 72. Mereka dipenjara dan diputus bersalah atas makar dan divonis 5,5 dan 5 tahun penjara karena terdapat bendera Benang Raja (bendera Republik Maluku Selatan) di rumah mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya