SOLOPOS.COM - Sunarno, 61, warga Dukuh Bunderjarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Klaten, mengonsumsi air hujan yang sudah melalui proses elektrolisis di rumahnya, Minggu (24/10/2021). (Solopos.com/Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN—Hujan menjadi sumber air utama bagi warga Dukuh Bunderjarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, Klaten. Nyaris tak ada sumber air bersih dari dalam tanah di sekitar dukuh tersebut.

Salah satu warga Dukuh Bunderjarakan, Sunarno, 61, menceritakan warga mengandalkan air hujan sejak nenek moyang mereka. Ketika kemarau tiba, warga harus mengangsu ke sumber air bersih bernama Kali Bagor di Desa Gemampir, Kecamatan Karangnongko, sejauh 4 km.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Agar warga lebih mudah mendapatkan kebutuhan air, mereka mulai membangun bak penampungan air sebagai tempat menampung air hujan dan menjadi persediaan air ketika kemarau tiba.

Baca Juga: Mulai Normal, Kain Batik Bayat Klaten Kembali Tembus Pasar Amerika

Awalnya, air hujan dianggap air paling kotor atau tak sebaik air dari dalam tanah. Anggapan itu kerap membuat warga minder ketika menyuguhkan minuman kepada para tamu.

“Ketika mau menyuguh minuman kami biasa minta maaf karena minuman yang disajikan dari air hujan,” kenang Sunarno saat berbincang dengan Solopos.com, Minggu (24/10/2021).

Namun, anggapan itu terbantahkan setelah ada seseorang yang datang ke Bunderjarakan untuk meneliti air hujan pada 2014. Peneliti tersebut merupakan seorang pastor yakni Romo Kirjito.

Baca Juga: Petani Ditemukan Meninggal di Persawahan Karangnongko Klaten

Penelitian dilakukan lantaran rasa penasaran kondisi warga Bunderjarakan yang bertahun-tahun mengonsumsi air hujan namun tak memiliki efek samping apa pun. “Nyatane ngombe banyu udan ya enek sing dadi pegawai,” kata Sunarno.

Setelah diteliti, nilai total dissolve solid (TDS) atau jumlah zat padat terlarut dari air hujan justru lebih rendah dibandingkan air di dalam tanah. Rendahnya nilai TDS itu menandakan kualitas air hujan tak kalah bahkan lebih baik dibandingkan air di dalam tanah.

“Sekotor-kotornya air hujan di sini, nilai TDS paling tinggi 70. Sementara, air dari sumur bor kedalaman 180 meter, angka TDS bisa sampai 100. Air hujan bahkan memiliki TDS sampai 18 hingga nol dan saya sudah pernah mempraktikkan sendiri,” kata Sunarno.

Baca Juga: Kekinian Banget, Penyemprotan Hama di Karangdowo Klaten Gunakan Drone

Tak sekadar meneliti kualitas air hujan, Sunarno mengatakan peneliti itu juga mengajak warga belajar mengolah air hujan. Pengolahan itu dilakukan dengan metode elektrolisis.

Cara kerja pengolahan cukup sederhana. Menggunakan aliran listrik PLN dialirkan pada alat pengubah arus AC ke DC. Kabel listrik bermuatan positif dan negatif disambungkan ke filamen masing-masing wadah yang di dalamnya diisi air hujan.

Setelah dialiri listrik selama tujuh jam, mereka mendapatkan air dengan kualitas bersifat basa dan asam dalam wadah terpisah. Air setrum itu yang kemudian dikonsumsi warga.

Baca Juga: BPBD Boyolali Minta Masyarakat Waspadai Dampak La Nina

“Tubuh kencenderungannya banyak asam. Akhirnya yang dikonsumsi air basa. Sementara air bersifat asam untuk luar. Tetapi kalau di sini air asam tetap diminum,” kata Sunarno.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya